Kartu Sehat berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang menjadi program andalan Pemerintah Kota Bekasi di bidang kesehatan diberhentikan per tanggal 1 Januari 2020.
Pemberhentian layanan sosial itu tercantum pada Surat Edaran Wali Kota Bekasi bernomor 440/7894/Dinkes tentang Pelaksanaan Pelayanan Jamkesda KS NIK Tahun 2020 yang terbit pada 29 November 2019.
Surat Edaran itu menjelaskan tentang Permendagri Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2020 bagian H, Poin 8 yang menyatakan Pemda tidak diperkenankan mengelola sendiri Jamkesda dengan manfaat yang sama dengan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Alasan penundaan tersebut dijelaskan pada poin kedua, yakni Pemkot Bekasi tengah merumuskan kebijakan pelayanan kesehatan yang bersifat komplementer dan tidak tumpang tindih dengan program JKN yang dikelola BPJS Kesehatan.
Pemberhentian kartu sakti walikota ini juga disinyalir adanya surat tembusan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bernomor B/1074/LIT/04/10-15/11/2019 yang terbit pada 29 November 2019 beredar di sejumlah grup Whatsapp.
Surat itu ditujukan kepada Wali Kota Bekasi sebagai tanggapan atas surat Wali Kota Bekasi nomor 440/7521/SETDA.TU tanggal 13 November 2019.
Pada surat yang dimaksud, Pemkot Bekasi memohon pertimbangan hierarki perundang-undangan KS-NIK di Kota Bekasi.
Atas permohonan tersebut, KPK berpendapat agar Pemkot Bekasi segera mengintegrasikan program KS-NIK ke dalam program JKN.
Sejatinya, sinyalemen program Kartu Sehat akan meledak sudah mulai terlihat dengan munculnya potensi defisit APBD Kota Bekasi tahun anggaran 2018.
Tidak main-main, besaran potensi defisit mencapai Rp 900 miliar sampai Rp 1,2 triliun atau sekitar 20 persen dari total APBD 2018 sebesar Rp 5,8 triliun.
Dari angka yang besar itu, program Kartu Sehat ikut berkontribusi menyumbang defisit. Sebagai ilustrasi, berdasarkan data Badan Pengelolaan Keuangan Dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Bekasi, Pemkot Bekasi mengalokasikan anggaran untuk Kartu Sehat di APBD 2018 sebesar Rp 225 miliar. Rinciannya, Rp170 miliar untuk Dinas Kesehatan dan Rp55 miliar untuk RSUD Kota Bekasi.
Tidak berhenti di situ, Pemkot Bekasi bahkan menambah anggaran Kartu Sehat di APBD Perubahan 2018 sebesar Rp 189 miliar, dengan rincian Rp 124 miliar untuk pos Dinas Kesehatan dan Rp 65 milar untuk RSUD Kota Bekasi.
Artinya, total uang yang digelontorkan untuk pembiayaan program tersebut menembus angka Rp 414 miliar pada tahun 2018 Rp 225 miliar pada APBD 2018 murni dan Rp 188 miliar pada APBD 2018 perubahan.
Jelas, Rp 414 miliar, untuk membiayai satu program sebuah daerah, bukan angka yang main-main mengingat kemampuan anggaran belanja langsung urusan pada APBD 2018 hanya sekitar Rp 3,3 triliun dari total APBD Rp5,8 triliun.
Angka itu pun harus dibagi dengan ribuan program lain yang digawangi oleh 46 Satuan Kerja Perangkat Daerah.
Pemkot Bekasi bisa saja mengelak bahwa anggaran fantastis tersebut belum tentu habis terserap. Tapi fakta menunjukkan, tahun 2017, anggaran sebesar Rp 75 miliar untuk Kartu Sehat yang disiapkan dalam APBD 2017 murni habis di tengah jalan.
Sejumlah pejabat pengambil kebijakan di Kota Bekasi bahkan tak segan menyebut bahwa Kartu Sehat memang menjadi penyumbang besar terjadinya defisit anggaran.
Anggota DPRD Kota Bekasi, Nicodemus Godjang bahkan telah mendesak agar program Kartu Sehat dilakukan audit.
Menurut politisi PDI Perjuangan ini, audit perlu dilakukan tidak hanya untuk transparansi namun juga sebagai penunjang kinerja eksekutif.
“Tidak ada alasan untuk tidak dilakukan audit, karena itukan anggaran rakyat, agar ada transparansi dan kita tidak suuzon maka baik rumah sakit maupun pelaksana atau RSUD harus di audit,” ujarnya.
Menurut Nico, Dinkes dan RSUD Kota Bekasi sebagai pelaksana kebijakan program Kartu Sehat harus diaudit, apalagi kata Nico, berdasarkan aduan masyarakat yang berobat dengan menggunakan KS tidak diberikan nota kwitansi.
Nico sendiri tidak melihat ini sebuah kejanggalan, namun hal itu akan bisa dibuktikan dengan melakukan audit Kartu Sehat. Ia juga berharap agar masyarakat tidak berasumsi negatif. Untuk itu audit bisa menjawab persoalan tersebut.
“Juklak dan juknisnya harus jelas, siapa yang bertanggung jawab, bagaimana sistem pendistribusiannya, bagaimana mereka pasien harus menerima kwitansi sama halnya dengan BPJS kalau kita berobat kan ada rinciannya, obatnya, ruang rawat inapnya, sekian anggarannya. Nah kalo KS kan tidak ada, jadi jangan sampai masyarakat berasumsi negatif bahwa ada persoalan dengan KS,” papar dia.
Nico berharap audit ini nantinya menjadi rekomendasi bahwa setiap peserta Kartu Sehat harus di berikan rincian anggaran yang dikeluarkan untuk biaya pengobatan.
Pemerintah Kota Bekasi dalam hal ini BPKP dan Inspektorat menurut Nico bisa melakukan audit internal, selanjutnya inspektorat bisa membeberkan hasil audit tersebut kepada publik.
“Kalo memang sudah di audit oleh inspektorat silahkan dibeberkan bahwa ini sudah sesuai, sehingga pemerintah daerah tidak perlu takut karena audit itu bukan hal yang menakutkan. Ketika ada kesalahan kemudian ada kelebihan kan ada rekomendasi segera mengembalikan, tidak langsung pidana toh kecuali tidak mengembalikan baru terjadi pidana,” jelasnya.
Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi menyampaikan, catatan tekait Jaminan Kesehatan Daerah atau Kartu Sehat telah di konsultasikan dengan Kemendagri, Kemenkumham serta KPK.
Hasilnya adalah program tersebut dapat dilanjutkan. Menurut Rahmat, program kesehatan yang sebelumnya melalui Kartu Sehat tidak di hapus.
Namun, kata dia, sifatnya adalah saling melengkapi dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Hal ini menyikapi adanya Permendagri no 33 Tahun 2019 tentang pedoman penyusunan APBD Tahun 2020, Pemerintah Daerah Wajib melakukan integrasi Jamkesda dengan Jaminan Kesehatan Nasional.
“Oleh karena itu, akan kita lakukan langkah-langkah perbaikan secafa menyeluruh,” kata Rahmat.