Bisa saja Prabowo mengalami “point of no return” ketika terus tersandera oleh kekuatan Jokowi dan irisannya yang disebut Genk Solo. Bisa juga Prabowo berpotensi membuat “blessing in the sky” untuk lebih membela rakyat menghadapi kekuatan konspiratif dan korup yang menyelimuti pemerintahannya. Apapun pilihannya, kemungkinan Prabowo telah memasuki fase “kill or to be killed” dalam kurang dua tahun pemerintahannya.
Seolah-olah sosok Jokowi yang sering disebut sebagai gembong Genk Solo dan sub koordinat oligarki ingin mengudeta Prabowo. Bagaimana mungkin?, lha wong Jokowi dan Prabowo telah menjadi satu kesatuan. Saat Jokowi presiden, Prabowo menjadi menteri dalam kabinet pemerintahannya. Begitupula saat Jokowi lengser, Jokowi mendukung Prabowo sebagai presiden dan putranya Gibran Rakabuming Raka menjadi wapresnya. Pesta demokrasi dengan mengusung konsep cawe-cawe Jokowi, sukses mengantar Prabowo dan Gibran memenangkan pilpres 2024 walaupun prosesnya memanipulasi konstitusi dan demokrasi serta Gibran yang disiapkan menjadi suksesor Prabowo.
Seolah-olah beberapa aksi unjuk rasa yang menimbulkan kerusuhan dan kematian didalangi Jokowi, padahal semua institusi keamanan negara seperti TNI-Polri, BIN, Menkopolhukam dan Mendagri dibawah komando Prabowo. Bahkan kalaupun menteri, panglima dan kepala lembaga pemerintahan itu dianggap orang-orang Jokowi dan membahayakan posisi Prabowo sebagai presiden. Prabowo aman dan nyaman saja tuh, tak ada satupun dari mereka yang dipecat atau setidaknya direshuffle. Prabowo justru memberikan kepercayaan penuh kepada mereka untuk bertindak tegas dan memulihkan keadaan dari demonstrasi yang mulai mengarah pada gerakan anarkis.
Kalau dibilang keputusan politik Prabowo sebagai presiden dinilai mulai menggusur kekuasaan dan pengaruh Jokowi yang masih kuat, ngga juga tuh. Buktinya Prabowo masih meneruskan kebijakan Jokowi. Bahkan Prabowo sering mengeluarkan kebijakan yang eksploitatif dan represif terhadap kehendak dan kepentingan rakyat, tak ubahnya yang sering dilakukan Jokowi. Semua kebijakan Prabowo terlihat identik dengan Kepentingan Jokowi, kalau tidak mau disebut hanya melanjutkan program Jokowi sebelumnya. Ini bisa diartikan Prabowo tidak ada bedanya dengan Jokowi, sama-sama menyusahkan rakyat kerap menyimpang dari konstitusi dan demokrasi. Keduanya tak ada simpati apalagi empati terhadap kesulitan hidup rakyat. Penindasan terus berlanjut, penderitaan rakyat mengalami kesinambungan.
Contohnya, penyusunan kabinet gemuk dengan banyak orang bermasalah hukum. Kenaikan pajak menjulang dan menyasar pada semua lini kehidupan rakyat. Satu sisi efisiensi, lain sisi pemborosan uang rakyat melalui kenaikan gaji DPR, hakim, guru dan rangkap jabatan wamen dan komisaris BUMN. Janji kampanye 19 juta lapangan kerja yang dibuktikan dengan jumlah pengangguran massal. Keberlanjutan utang yang menjadi kegemaran pemerintah. Memblokir 122 juta rekening rakyat sepihak, mencoba mengambil kepemikan tanah yang tidak diurus rakyat sekama dua tahun diurus. Mengumbar gelar kehormatan dan tanda jasa bagi orang-orang dekatnya dan yang tidak memiliki kelayakan serta masih banyak lagi seabrek kebijakan omon-omon yang inkonsisten. Prabowo begitu nyaman dan tetap percaya diri memimpin negara dalam bayang -bayang pengaruh dan kekuasaan Jokowi, ditengah penilaian publik tentang jabatannya sebagai presiden terancam dikudeta Jokowi dalam dua tahun.
Dalam soal konstitusi dan demokrasi, jelas tak perlu dibahas lagi. Jokowi dan Prabowo terbukti menjadi bagian tak terpisahkan dari distorsi penyelenggaraan negara. Terlebih sikap Prabowo dalam merespon aksi unjuk rasa mahasiswa dan masyarakat yang berujung kerusuhan. Tanpa melihat dan mempertimbangkan latar belakang dan apa yang menjadi substansi dari demonstrasi yang masif di pelbagai daerah. Prabowo dengan cepat dan sigap menyatakan itu sebagai gerakan anarkis bahkan mengarah yang mengarah pada aksi teroris.
Pernyataan politik Prabowo sesungguhnya mengabaikan massa aksi yang radikal itu merupakan bentuk akumulasi dari kekecewaan, kemarahan dan ketidakpercayaan rakyat terhadap kepemimpinan nasional beserta semua produk-produk kebijakannya. Rakyat mulai jenuh pada kerusakan sistem dan penyelengaraan negara yang korup dan menindas baik dalam kepemimpinan dua periode Jokowi maupun keberlanjutannya era Prabowo.
Jadi kalau ada asumsi dan analisi berkedok data intelejen sekalipun bahwasanya muncul anasir-anasir kekuatan asing atau kelompok-kelompok kepentingan tertentu yang ingin mengganggu dan menggulingkan pemerintahan Prabowo. Sebutkan saja siapa mereka?. Apakah Jokowi dan kelompoknya, rasanya tidak mungkin. Kalau itu terjadi, Prabowo akan mudah mematahkannya, karena Prabowo presiden berkuasa penuh yang menjadi panglima tertinggi TNI dan Polri serta sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yang bisa menggerakan sumber daya politik, hukum dan ekonomi dan pertahanan keamanan negara.
Lantas, kenapa semua kekacauan yang mulai mengarah kehancuran republik ini terus berlangsung?. Jawabannya sederhana, karena kepemimpinan Prabowo terlalu lemah bahkan dalam perjalanannya dinilai tidak memiliki kapasitas yang memadai. Seribu Jokowi dan seribu oligarki jika memang ada, tak akan berarti jika menghadapi hanya seorang Prabowo yang memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat dan berintegitas serta didukung mayoritas rakyat.
Kalau selama ini dianggap lemah, ya lemah karena Prabowo membiarkan dirinya ambigu dan ambivalen di hadapan orang-orang atau kelompok tertentu yang tidak ingin melihat rakyat berdaulat dan sejahtera. Lemahnya Prabowo juga karena Prabowo membiarkan dirinya terus tersandera oleh kontrak politik atau mungkin skandal tertentu dari mereka yang punya kekuatan dan tidak ingin negara dan bangsa Indonesia menjadi besar dengan prinsip-prinsip keadilan dan kesejahteraan.
Jadi karena kelemahan Prabowo itu, begitu banyak perspektif yang mengemuka yang mengungkapkan Prabowo terancam dikudeta. Dikudeta oleh siapa?. Semua ngga jelas dan absurd. Kelak akan terbukti Prabowo menjadi faktor penting yang berkontribusi besar menimbulkan
kemunduran, kekacauan dan kehancuran bangsa ini. Kelemahannya yang kerap muncul dalam bentuk inkonsistensi dan tidak memilik skala prioritas dalam kebijakan pemerintahan serta sudah mulai tampak gaya kepemimpinan fasis dan totaliter. Membuat Prabowo sulit mewujudkan janji-janji kampanye pilpresnya, ditambah pendampingnya hanya boneka hidup Jokowi yang menuadi beban politiknya.
Paling rasional dan realistis, saking lemahnya Prabowo tidak memiliki keberanian melakukan perubahan dan perbaikan pada rakyat, negara dan bangsa Indonesia. Hal itulah yang menjadi ancaman buat Prabowo sendiri. Kelemahan yang akan menyebabkan terjadinya peristiwa politik dua muka Prabowo. Politik dua muka Prabowo yang tidak berkolerasi dengan kepentingan rakyat. Politik dua muka Prabowo yang akan menciptakan perangnya sendiri, antara meniadi penjahat dan pengkhianat bagi bangsa Indonesia atau memilih menghidupkan nasionalisme dan patriotisme dalam dirinya.
Bukan lantas sering teriak ada kepentingan asing dan terus mencari kambing hitam dalam setiap terjadi gejolak politik. Terlebih ketika kebuntuan datang saat kekuasaan pemerintahannya terdesak, tuduhan makar menjadi senjata ampuh untuk mulai menggerakan fasisme dan totaliterianisme. Padahal, bisa jadi ada pergumulan dan konflik batin dalam diri seorang Prabowo, tatkala sadar atau tidak sadar, Prabowo sesungguhnya sedang menghadapi dirinya sendiri karena kekuasaan tak terbatas kini digengamnya. Seorang Prabowo yang sedang melawan Prabowo, apakah sisi baik Prabowo yang tersingkir atau sisi Jahat Prabowo yang mengemuka. Terlepas ada pembisik, persekongkolan dan dan siasat disekelilingnya, sejatinya sedang terjadi Prabowo kudeta Prabowo.
Penulis: Yusuf Blegur
Bekasi Kota Patriot.
10 Safar 1447 H/25 Agustus 2025