Bekasi  

Pendapatan BPHTB Bekasi Seret, Piutang PBB Menggunung Rp1 Triliun

Kabupaten Bekasi - Foto udara perkotaan Kabupaten Bekasi di Tambun.
Foto udara perkotaan Kabupaten Bekasi di Tambun.

Kabupaten Bekasi – Memasuki triwulan terakhir 2025, kinerja keuangan Pemerintah Kabupaten Bekasi masih dibayangi problem klasik: realisasi pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang seret dan piutang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang membengkak.

Dua sektor pajak strategis itu kini menjadi titik rawan dalam menjaga stabilitas fiskal daerah menuju visi Bekasi Bangkit, Maju, dan Sejahtera.

Data dari Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Bekasi menunjukkan, hingga Oktober 2025 realisasi BPHTB baru mencapai Rp624 miliar, atau 50,40 persen dari target tahunan sebesar Rp1,274 triliun.

“Realisasinya memang masih di bawah target. Salah satu penyebabnya karena banyak transaksi jual beli tanah yang tidak terlaporkan,” kata Kepala Bapenda Kabupaten Bekasi, Iwan Ridwan, Selasa (21/10/2025).

Transaksi Gelap dan Tunggakan PTSL

Menurut Iwan, lemahnya pelaporan transaksi menjadi salah satu faktor utama yang menghambat optimalisasi BPHTB. Selain itu, program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) juga menyisakan sejumlah tunggakan BPHTB dari para penerima sertifikat.

“Kami terus berkoordinasi dengan pihak BPN agar alas haknya jelas. Ke depan, penerima PTSL diharapkan mulai membayar BPHTB-nya,” ujar Iwan.

Sumber internal Bapenda menyebut, kendala lainnya muncul dari perbedaan data antara nilai transaksi riil di lapangan dengan laporan yang disampaikan ke kantor pajak daerah. Dalam beberapa kasus, nilai transaksi diturunkan agar beban pajak lebih ringan.

Piutang Rp1 Triliun dan ‘Data Ganda’

Di luar BPHTB, Bapenda juga menghadapi masalah besar di sektor Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Berdasarkan catatan resmi, piutang PBB telah menembus Rp1 triliun, akumulasi dari tunggakan lebih dari lima tahun terakhir.

“Nilai loss-nya itu satu triliun lebih dan terus bertambah kalau tidak segera dibenahi,” kata Iwan.

Ia menyebut, persoalan utama bukan hanya rendahnya penagihan, tetapi juga “double anslah” — istilah untuk data bermasalah, seperti wajib pajak ganda, nilai tidak akurat, atau objek pajak yang sudah tidak eksis.

“Ada yang sudah bayar, tapi tercatat belum karena datanya ganda. Kami sedang inventarisir berapa sebenarnya nilai loss yang valid,” jelasnya.

Sinkronisasi Data dan Potensi Koreksi Pajak

Saat ini, Pemkab Bekasi tengah melakukan sinkronisasi data PBB dan BPHTB dengan Kantor Pertanahan (BPN) untuk memastikan kesesuaian antara luas lahan, nilai transaksi, dan status kepemilikan.

“Termasuk kasus di mana nilai pajak dibayar lebih kecil dari luas tanah sebenarnya, atau sebaliknya. Semua akan disesuaikan,” kata Iwan.

Namun proses sinkronisasi ini disebut lamban karena minimnya integrasi sistem data antarinstansi. Seorang pejabat di lingkungan Pemkab yang enggan disebut namanya mengatakan, belum adanya sistem berbagi data digital antara Bapenda, BPN, dan Dinas Perumahan menjadi hambatan utama.

Tekanan dari Rieke Diah Pitaloka

Menanggapi kondisi tersebut, Ketua Dewan Penasehat Bupati Bekasi, Rieke Diah Pitaloka, menilai penguatan data adalah langkah mendesak untuk menyelamatkan keuangan daerah.

“Pendapatan daerah harus meningkat, apalagi saat keuangan sedang melemah. Karena itu, pendataan harus dilakukan secara rigid,” tegasnya.

Rieke mendorong Pemkab mempercepat implementasi Data Desa Presisi, sistem pemetaan digital berbasis geospasial yang dinilai mampu memperbaiki validitas data pajak.

“Saat ini baru dua kecamatan yang rampung, tahun depan seluruh kecamatan ditargetkan selesai agar pendapatan bisa tepat sasaran,” ujarnya.

Ikuti Kami di GOOGLE NEWS

Simak berita seputar Bekasi di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Gobekasi.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VarakafA2pLDBBYbP32t. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *