Opini  

Prediksi Tanpa Salah di Balik Mutasi Kursi Basah

Kota Bekasi - Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto melakukan mutasi massal pejabat di lingkungan Pemerintah Kota Bekasi, Rabu (29/10/2025). Foto: Ist/Gobekasi.id.
Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto melakukan mutasi massal pejabat di lingkungan Pemerintah Kota Bekasi, Rabu (29/10/2025). Foto: Ist/Gobekasi.id.

Kota Bekasi – Mutasi besar-besaran di Pemerintah Kota Bekasi yang digelar Rabu (29/10/2025), mungkin akan dikenang bukan karena jumlah pejabat yang dilantik, melainkan karena akurasi luar biasa dari “ramalan” siapa yang akan duduk di kursi strategis.

Bocoran nama-nama calon kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang sempat beredar di publik ternyata nyaris tanpa meleset. Bahkan, beberapa nama sudah lebih dulu beredar sebelum proses seleksi usai.

Fenomena ini bukan hal baru di birokrasi daerah. Tapi, ketika hasil seleksi pejabat publik bisa diprediksi “tanpa salah”, kita patut bertanya: apakah sistem open bidding benar-benar terbuka, atau sekadar formalitas untuk mengesahkan keputusan yang sudah diambil sejak awal?

Proses seleksi kepala OPD seharusnya menjadi ajang kompetitif bagi aparatur sipil negara yang memiliki kinerja, integritas, dan visi pelayanan publik yang jelas. Namun dalam praktiknya, mekanisme seleksi kerap berubah menjadi arena negosiasi politik dan loyalitas. Ada jabatan yang disebut “basah”—karena anggaran besar dan daya tarik proyek—yang kerap menjadi incaran bukan karena tanggung jawab pelayanan, melainkan peluang ekonomi.

Dari bocoran yang dimuat Gobekasi, nama-nama seperti Idi Sutanto (Kepala Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air), Arwani (Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga), Kiswatiningsih (Lingkungan Hidup), dan Ellya Niken Pratiwi (Direktur RSUD), Ridwan AS (Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), Priadi Santoso (Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu) sudah disebut jauh hari sebelum pelantikan dan tak satu pun meleset.

Fakta bahwa semuanya benar-benar dilantik hanya menegaskan bahwa proses seleksi di Bekasi lebih mirip ritual administratif ketimbang kontestasi meritokratis.

Tentu menjadi janggal bila prediksi soal jabatan esselon 2 tepat 100 persen bila mengacu pada alasan template bahwa mutasi bagian dari penyegaran organisasi.

Namun, perkara Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto, menyebut mutasi kali ini sebagai bagian dari penyegaran birokrasi dan perbaikan kinerja, saja. Namun, publik berhak curiga bila penyegaran justru dilakukan dengan air keruh—penuh bisik-bisik dan bocoran yang terlalu tepat.

Artinya proses open bidding tak perlu lagi dilakukan bila bocoran-bocoran saja, sudah mampu secara tepat menyebutkan siapa menduduki apa.

Belum lagi bicara kekosongan posisi strategis seperti Kepala Inspektorat justru dibiarkan kosong. Padahal, lembaga itu merupakan benteng pengawasan dan akuntabilitas di lingkungan pemerintah Kota Bekasi, dengan belanja daerah triliunan rupiah, memang menjadi lahan empuk bagi tarik-menarik kepentingan. Dimana letak penyegarannya.

Dalam situasi seperti ini, loyalitas politik sering kali lebih dihargai ketimbang kompetensi teknis. Maka, ketika proses seleksi pejabat hanya menjadi stempel atas keputusan yang sudah disusun sebelumnya, publik kehilangan kepercayaan terhadap sistem.

Kita tidak menuduh ada pelanggaran, tetapi yang jelas, transparansi telah dikalahkan oleh prediksi. Sementara kepercayaan publik dibangun dari kejutan yang menyenangkan—bukan dari kepastian yang mencurigakan.

Bekasi butuh birokrasi yang tumbuh dari sistem merit, bukan bocoran. Sebab, setiap kali jabatan diperlakukan sebagai hadiah, pelayanan publik akan tetap berjalan di tempat, sementara yang bergerak hanya kursinya.

Ikuti Kami di GOOGLE NEWS

Simak berita seputar Bekasi di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Gobekasi.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VarakafA2pLDBBYbP32t. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *