Bekasi  

“Judi BUMD” di Bantaran Kalimalang

Kota Bekasi - Gambaran 3D rancangan Wisata Air & Cargo Kuliner Kalimalang. Foto: PT Miju Dharma Angkasa
Gambaran 3D rancangan Wisata Air & Cargo Kuliner Kalimalang. Foto: PT Miju Dharma Angkasa

Kota Bekasi – Deretan jembatan baru di atas aliran Kalimalang tampak seperti janji. Lampu-lampu pemasangan baru menunggu berpendar di malam hari.

Di sini, Pemerintah Kota Bekasi hendak membuktikan diri: bahwa kota yang selama ini hidup dari perdagangan dan jasa, juga sanggup memiliki destinasi wisata “kelas dunia”.

“Kalau bisa nggak kalah sama Korea dan Uzbekistan,” ujar Wali Kota Bekasi Tri Adhianto, dalam seremoni penandatanganan kerja sama Wisata Air Kalimalang, Senin (8/12/2025).

Namun di luar panggung, satu pertanyaan terus menggantung: apa hitungan ekonominya sudah masuk akal?

BUMD “Berjudi” di Bantaran Sungai

BUMD PT Mitra Patriot menggandeng PT Miju Dharma Angkasa, perusahaan yang sepak terjangnya bukan pada konstruksi, melainkan bisnis kedai Coffee dan Nasi Bakar. Mereka menawarkan 87 kontainer kuliner di sepanjang sungai.

Harga sewa Rp100 juta per tahun. Belum termasuk IPL Rp300 ribu per bulan.

“UMKM dijadikan penopang PAD. Kalau hitungannya salah, yang jatuh bukan pemerintah, tapi pelaku usaha kecil,” kata Mulyadi, Ketua Umum Forkim, Selasa (9/12/2025).

Sewa kontainer dengan tarif mendekati mall—di pinggir sungai yang akses parkirnya belum jelas—mengingatkan pada pola lama: kemasan lebih penting daripada studi kelayakan.

5.000 Pengunjung Sehari?

Dalam proposal pemasaran TIRTA Kalimalang (Tujuan Istimewa & Riung Tepi Air), target pengunjung mencapai 4.000-5.000 orang per hari terdengar seperti optimisme yang terlalu jauh melompat.

Kalimalang bukan Malioboro. Jalur KH Noer Ali adalah arteri penuh truk dan kendaraan harian, bukan wisatawan. Ruang pedestrian terbatas, suasana rekreasi belum terbentuk.

Sebagai pembanding, Wisata Hutan Bambu di Margahayu—yang tiketnya murah, aksesnya lebih tenang—tak pernah mencapai ribuan pengunjung harian. Fasilitasnya kini lebih dekat pada tempat perkemahan harapan, bukan destinasi unggulan.

Hitungan yang Disembunyikan dalam Seremoni

Mulyadi membeberkan perhitungannya, sewa kontainer Rp8,7 miliar per-tahun dari anggaran Rp100 juta per tenant. IPL dengan Rp313,2 juta tahun dari hasil kutip Rp300 ribu per bulan. Tiket kapal wisata Rp600 juta/tahun dengan asumsi 10 kapal × tarif Rp10.000.

Total Rp9,6 miliar kotor per tahun. Kotor—sebelum gaji pegawai, perawatan sungai, hiburan, promosi, hingga risiko tenant tutup.

“Bandingkan dengan target PAD resmi Rp3 miliar. PT Mitra Patriot seolah menarget rendah, sementara beban biaya tinggi diletakkan pada UMKM. Siapa sebenarnya yang diuntungkan? Dan siapa yang siap menjadi korban jika ekspetasi tak menyentuh realitas?,” tanyanya, tegas.

Jejak Kuburan Proyek Wisata

Bekasi punya rekam jejak pahit, diantaranya Wisata Kuliner di Jalan Ahmad Yani — kini kumuh, tenant pergi satu per satu. Proyek waterfront yang tinggal konsep, meredup tanpa pernah jadi pengalaman. Semua punya pola sama: dibangun ramai–ramai, dibiarkan sunyi–sunyi.

Bekasi tidak dilahirkan sebagai kota wisata. Dan pariwisata yang lahir dari obsesi politis sering mati oleh kenyataan pasar.

Sungai Sebagai Panggung Estetika

PT Miju Dharma Angkasa menjanjikan permainan musik, cahaya, dan visual modern. Tapi sungai bukan sekadar wadah lampu LED. Ia memerlukan ekosistem, bukan sekadar elemen tabrakan estetika.

Jika malam pertama gemerlap, lalu siapa yang memastikan malam ke-100 tidak muram?

Antara Ambisi dan Kenyataan

Wali Kota Bekasi menegaskan wisata ini gratis. Parkir gratis. Ruang publik untuk semua. Tapi bisnis di dalamnya bertumpu pada sewa mahal. Paradoks ini menyimpan jebakan: keberlanjutan digantungkan pada pelaku UMKM yang tidak diajak menyusun mimpi dari awal.

Menghibur investasi dengan angka spekulatif bukan cara baik membangun kota. Sebuah ikon tidak lahir dari kontainer bersusun, tetapi dari kejujuran melihat kemampuan diri.

Akhirnya, Sebuah Pilihan

Wisata Air Kalimalang bisa jadi terobosan. Tapi bisa pula menjadi monumen baru dari kegagalan yang lama: kota yang lebih senang bernafsu membangun daripada merawat.

Visi besar selalu memerlukan keberanian. Tapi ambisi yang lepas dari realitas bisa menjadi beban fiskal daerah dan pengalaman pahit bagi pelaku UMKM.

Wisata Air Kalimalang kini sudah berjalan: kontrak diteken, jembatan dibangun, kontainer dipasarkan. Yang belum hadir adalah kesadaran bahwa wisata bukan hanya soal membangun, tapi juga menghidupkan.

Urban planner dan pemerhati kebijakan publik banyak menilai keberhasilan pariwisata kota sangat dipengaruhi oleh aspek transportasi, aksesibilitas, kebersihan, serta penyediaan aktivitas yang berkelanjutan.

Kota Bekasi, yang lebih berkembang sebagai kota jasa dan perdagangan, memerlukan strategi jelas dalam mengelola destinasi wisata agar tidak membebani investor maupun pelaku UMKM.

Dan untuk itu, Kota Bekasi harus menjawab satu pertanyaan, apakah Wisata Air Kalimalang akan jadi ikon baru, atau justru menambah catatan eksperimen wisata yang gagal?

Ikuti Kami di GOOGLE NEWS

Simak berita seputar Bekasi di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Gobekasi.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VarakafA2pLDBBYbP32t. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *