Bekasi  

Lelang Bus Transpatriot: Ketika Aset Daerah Diperlakukan Seperti Barang Dagangan Biasa

Kota Bekasi - Bus Transpatriot yang dilelang oleh PT Mitra Patriot. Foto: Ist/Gobekasi.id.
Bus Transpatriot yang dilelang oleh PT Mitra Patriot. Foto: Ist/Gobekasi.id.

Kota Bekasi – Penjualan armada Bus Transpatriot oleh PT Mitra Patriot (PTMP) membuka persoalan yang lebih serius dari sekadar pelunasan utang.

Di balik klaim pembenahan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Kota Bekasi, muncul dugaan kuat bahwa mekanisme pemindahtanganan aset daerah dilakukan dengan mengabaikan prinsip-prinsip yang diwajibkan Peraturan Pemerintah.

Bus Transpatriot bukan sekadar kendaraan operasional. Armada itu dibeli dari uang publik melalui skema penyertaan modal Pemerintah Kota Bekasi dengan nilai lebih dari Rp 20 miliar.

Karena itu, setiap tindakan menjual, melepas, atau mengalihkan bus tersebut tidak bisa disamakan dengan transaksi aset perusahaan swasta.

Peraturan Jelas, Praktik Dipertanyakan

Kerangka hukum pengelolaan aset BUMD sebenarnya tegas. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan PP Nomor 54 Tahun 2017 tentang BUMD menegaskan bahwa aset yang berasal dari penyertaan modal daerah tetap tunduk pada prinsip pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD).

Prinsip itu diperkuat oleh PP Nomor 28 Tahun 2020 yang mengatur bahwa pemindahtanganan aset daerah wajib dilakukan secara transparan, akuntabel, dan dengan persetujuan kepala daerah serta DPRD, terutama untuk aset bernilai signifikan.

Namun, hingga kini, tidak ada penjelasan terbuka mengenai persetujuan DPRD atas penjualan bus, dasar hukum pemindahtanganan armada, nilai wajar hasil penilaian independen, serta penggunaan hasil penjualan aset.

Ketiadaan informasi ini menimbulkan dugaan bahwa penjualan bus dilakukan tanpa mengikuti anjuran normatif Peraturan Pemerintah.

Lelang Tanpa Wajah Publik

Dokumen yang diperoleh menunjukkan bahwa bus Transpatriot dilelang melalui IBID Astra-balai lelang swasta, bukan melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).

Secara hukum, penggunaan balai lelang swasta memang dimungkinkan. Namun, untuk aset yang berasal dari penyertaan modal daerah, anjuran kebijakan publik menempatkan KPKNL sebagai instrumen utama negara demi menjamin fungsi publik lelang: keterbukaan, kepastian hukum, dan perlindungan aset rakyat.

“Ketika aset daerah dilelang secara sunyi di balai lelang swasta, publik kehilangan akses untuk mengawasi,” kata Ketua Forum Komunikasi Intelektual Muda Indonesia (Forkim), Mulyadi, Jumat (26/12/2025) kepada Gobekasi.id.

Dalam konteks PP tentang pengelolaan BMD, lelang seharusnya didahului pengumuman terbuka, penetapan nilai limit berdasarkan appraisal independen, dan pencatatan dalam risalah lelang yang dapat diakses publik.

Hingga kini, risalah lelang dan appraisal penjualan bus tidak pernah dipublikasikan.

Penyimpangan Tujuan Pemanfaatan Aset

Penyimpangan lain terletak pada tujuan penggunaan hasil lelang. Regulasi pengelolaan aset daerah menempatkan hasil pemindahtanganan aset sebagai bagian dari strategi optimalisasi layanan atau penguatan usaha BUMD.

Namun, dalam kasus PT Mitra Patriot, hasil penjualan bus diduga digunakan untuk menutup utang operasional lama kepada PT DAMRI.

Jika dugaan ini benar, maka telah terjadi pergeseran fungsi aset daerah: dari alat pelayanan publik menjadi alat tambal sulam kegagalan manajemen.

“Bus dijual bukan untuk peremajaan armada atau peningkatan layanan, tetapi untuk menutup utang. Ini bertentangan dengan semangat PP tentang pengelolaan aset,” ujar Mulyadi.

Aset Dijual, Layanan Menyusut

Sumber di internal PTMP menyebutkan jumlah armada Transpatriot menyusut dari 29 unit menjadi 22 unit. Artinya, tujuh bus telah dilepas.

Penurunan jumlah armada ini terjadi tanpa penjelasan resmi kepada publik, tanpa kajian dampak layanan, dan tanpa paparan rencana penggantian armada.

Padahal, dalam prinsip pengelolaan BMD, pemindahtanganan aset harus mempertimbangkan kepentingan pelayanan publik. Penjualan aset yang berdampak pada berkurangnya layanan berpotensi melanggar asas kemanfaatan dan akuntabilitas.

Celah Pengawasan yang Terbuka

Ketertutupan proses lelang membuka ruang penyimpangan lanjutan, mulai dari penetapan harga limit, potensi konflik kepentingan, hingga penggunaan dana sisa hasil penjualan.

Dengan estimasi nilai penjualan tujuh bus mencapai sekitar Rp 1,05 miliar dan kewajiban kepada DAMRI hanya Rp 882,56 juta, muncul pertanyaan yang belum terjawab: ke mana sisa dana hasil lelang?

Tanpa pengumuman resmi dan risalah lelang yang dapat diakses publik, pertanyaan itu akan terus menggantung.

Antara Legal dan Patut

Kasus lelang bus Transpatriot menunjukkan perbedaan tajam antara apa yang mungkin legal secara sempit dan apa yang patut menurut prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.

Peraturan Pemerintah tidak hanya mengatur prosedur, tetapi juga menanamkan nilai: keterbukaan, kehati-hatian, dan perlindungan aset publik. Ketika nilai-nilai itu diabaikan, lelang berubah dari instrumen akuntabilitas menjadi ruang gelap transaksi.

Publik kini menunggu penjelasan Pemerintah Kota Bekasi dan manajemen PT Mitra Patriot. Tanpa itu, penjualan bus Transpatriot akan terus dipandang bukan sebagai langkah pembenahan, melainkan contoh nyata bagaimana aset daerah bisa meluncur keluar dari pengawasan publik—secara sah di atas kertas, tetapi menyimpang dalam praktik.

Ikuti Kami di GOOGLE NEWS

Simak berita seputar Bekasi di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Gobekasi.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VarakafA2pLDBBYbP32t. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *