Bekasi  

PKL Digusur, Kontainer Dijual: Wajah Ganda Penataan Kalimalang

Paradoks ini menjadi titik kritis. Penataan yang semula dibungkus dengan bahasa ketertiban kini berubah menjadi komersialisasi ruang. Bedanya, akses terhadap ruang tersebut tidak lagi gratis atau berbasis ekonomi rakyat kecil, melainkan berbayar mahal.

Kota Bekasi - Kontainer di lokasi Wisata Air Kalimalang telah dipajang. Hal ini menjadi paradoks penataan Kalimalang. Foto: Ist/Gobekasi.id.
Kontainer di lokasi Wisata Air Kalimalang telah dipajang. Hal ini menjadi paradoks penataan Kalimalang. Foto: Ist/Gobekasi.id.

Kota Bekasi – Kebijakan penataan kawasan Kalimalang kembali menempatkan Wali Kota Bekasi Tri Adhianto di bawah sorotan. Kali ini bukan soal estetika kota atau kebersihan sungai, melainkan soal keadilan.

Para pedagang kaki lima (PKL) yang digusur dari bantaran Kalimalang menilai pemerintah kota telah menerapkan standar ganda: keras terhadap pedagang kecil, lunak terhadap kepentingan bisnis berbasis proyek.

Levri, pedagang warung kopi asal Teluk Pucung, Bekasi Utara, masih mengingat jelas hari ketika lapaknya digusur. Tidak ada dialog berarti. Tidak ada relokasi. Tidak ada rencana keberlanjutan usaha.

“Kami digusur atas nama penataan kota, tapi caranya tidak manusiawi. Kami kehilangan tempat usaha dan mata pencaharian. Kami seperti dibiarkan mati pelan-pelan,” ujar Levri, PKL yang lapaknya tergusur dengan dalih penertiban di Kalimalang dekat dengan Universitas Islam “45” Bekasi, Sabtu (27/12/2025).

Penertiban itu disebut pemerintah sebagai upaya mengembalikan fungsi ruang publik dan menjaga estetika Kalimalang. PKL dituding melanggar aturan dan merusak wajah kota. Namun, narasi itu kini dipertanyakan para pedagang sendiri.

Ketika Dalih Penataan Berubah Arah

Beberapa bulan setelah penggusuran, kawasan Kalimalang yang berada di Jalan KH.Noer Ali justru disiapkan sebagai Wisata Air Kalimalang. Di aliran sungai yang sama—yang sebelumnya dianggap melanggar aturan—pemerintah kota memfasilitasi berdirinya bangunan usaha berbasis kontainer.

“Dulu kami dituding merusak tata kota. Sekarang pemerintah sendiri membangun dan melegalkan tempat usaha di atas Kalimalang. Di mana logika dan keadilannya?” kata Levri.

Paradoks ini menjadi titik kritis. Penataan yang semula dibungkus dengan bahasa ketertiban kini berubah menjadi komersialisasi ruang. Bedanya, akses terhadap ruang tersebut tidak lagi gratis atau berbasis ekonomi rakyat kecil, melainkan berbayar mahal.

UMKM Versi Proyek

Wisata Air Kalimalang akan dikelola oleh entitas bernama TIRTA Kalimalang, bentukan PT Miju Dharma Angkasa (MDA)—perusahaan swasta pemenang tender dari BUMD Kota Bekasi, PT Mitra Patriot.

Dalam skema bisnisnya, PT MDA menawarkan 87 unit kontainer kuliner bagi pelaku UMKM dengan harga sewa Rp 100 juta per tahun, belum termasuk PPN, ditambah iuran pengelolaan lingkungan (IPL) sebesar Rp 300 ribu per bulan.

Pemerintah menyebut proyek ini sebagai upaya mendongkrak perekonomian rakyat melalui UMKM. Namun bagi PKL yang telah digusur, narasi itu terasa ironis.

“UMKM yang mana? Kami pedagang kecil disingkirkan, lalu diganti UMKM versi proyek yang harus bayar ratusan juta,” ujar Levri.

Skema ini secara tidak langsung menyeleksi pelaku usaha berdasarkan kemampuan modal, bukan kebutuhan perlindungan ekonomi rakyat kecil.

Penataan atau Penyingkiran?

Kebijakan penataan kota idealnya berangkat dari prinsip keadilan sosial. Dalam banyak regulasi tata ruang dan kebijakan publik, penertiban PKL seharusnya dibarengi dengan relokasi layak dan skema keberlanjutan usaha.

Namun, dalam kasus Kalimalang, relokasi tak pernah benar-benar hadir. Yang ada justru pergantian aktor ekonomi: dari pedagang kecil informal ke pelaku usaha yang mampu masuk dalam skema bisnis proyek.

“Kalau hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas, itu bukan penataan kota. Itu penindasan,” kata Levri.

Pernyataan ini mencerminkan rasa keterpinggiran warga yang selama ini menjadi bagian dari denyut ekonomi lokal, tetapi tersingkir ketika ruang publik diberi nilai ekonomi baru.

Kepemimpinan yang Dipertanyakan

Kritik terhadap Tri Adhianto bukan hanya soal kebijakan teknis, melainkan soal cara pandang kepemimpinan. Para pedagang menilai wali kota gagal melihat dimensi kemanusiaan dalam penataan kota.

Penertiban dilakukan cepat. Penggusuran tegas. Namun solusi berjalan lambat—bahkan nyaris absen.

“Kalau kami dulu digusur, berikan relokasi yang layak. Sediakan tempat usaha untuk kami. Jangan hanya pandai menertibkan rakyat kecil,” ujar Levri.

Ia dan pedagang lainnya mendesak pemerintah kota bertanggung jawab atas dampak sosial kebijakan yang diambil. Tanpa itu, penataan hanya akan dipersepsikan sebagai penyingkiran terselubung.

Siapa Diuntungkan dari Kalimalang?

Kasus Kalimalang memperlihatkan pertanyaan klasik dalam kebijakan perkotaan: siapa yang diuntungkan dari penataan ruang?

Bagi pemerintah, proyek wisata air adalah etalase pembangunan. Bagi swasta pengelola, ia adalah peluang bisnis. Namun bagi PKL yang digusur, penataan justru berarti kehilangan ruang hidup.

Jika tujuan pembangunan kota adalah meningkatkan kesejahteraan warga, maka kebijakan yang menyingkirkan pedagang kecil tanpa solusi layak justru bergerak ke arah sebaliknya.

Para pedagang Kalimalang menyatakan siap melakukan aksi jika tuntutan mereka terus diabaikan. Bagi mereka, ini bukan sekadar soal lapak, melainkan soal hak untuk bertahan hidup di kota sendiri.

Kalimalang hari ini bukan hanya sungai yang ditata. Ia telah menjadi cermin—memantulkan bagaimana kekuasaan memutuskan siapa yang boleh tinggal, siapa yang harus pergi, dan siapa yang layak menikmati ruang kota.

Ikuti Kami di GOOGLE NEWS

Simak berita seputar Bekasi di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Gobekasi.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VarakafA2pLDBBYbP32t. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *