Kabupaten Bekasi – Pemanggilan Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap Beni Saputra, mantan Sekretaris Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Bekasi, membuka satu simpul penting dalam perkara suap yang menjerat Bupati Bekasi nonaktif Ade Kuswara Kunang. Namun simpul itu belum terurai. Beni tidak hadir memenuhi panggilan penyidik.
“Sampai dengan saat ini saksi BS belum hadir, dan belum ada konfirmasi yang kami terima,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo, Senin (29/12/2025).
Ketidakhadiran ini bukan sekadar persoalan administratif. Dalam perkara yang menyangkut dugaan praktik ijon proyek bernilai miliaran rupiah, posisi seorang mantan pejabat teknis seperti Beni menjadi kunci untuk menelusuri bagaimana keputusan, rekomendasi, dan komunikasi proyek berjalan di internal pemerintahan daerah.
OTT, Proyek 2026, dan Uang di Muka Kekuasaan
Kasus ini berawal dari operasi tangkap tangan KPK yang menyeret Ade Kuswara Kunang. Dalam pengembangan perkara, KPK menetapkan tiga tersangka Ade Kuswara Kunang, Bupati Bekasi nonaktif, HM Kunang, ayah Ade Kuswara dan Sarjan (SRJ), pihak swasta.
KPK menduga Ade dan HM Kunang menerima uang ijon proyek sebesar Rp 9,5 miliar, yang berkaitan dengan proyek-proyek yang bahkan belum berjalan dan direncanakan baru akan digarap pada 2026.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu menyebut uang tersebut diberikan sebagai “jaminan proyek”.
“Total ijon yang diberikan oleh SRJ kepada ADK dan HMK mencapai Rp 9,5 miliar, pemberian uang dilakukan dalam empat kali penyerahan melalui para perantara,” kata Asep.
Skema ini memperlihatkan wajah klasik korupsi daerah: proyek belum ada, anggaran belum diketok, tetapi komitmen sudah diperjualbelikan.
Peran Pejabat Teknis dan Ruang Gelap Birokrasi
Dalam konteks inilah nama Beni Saputra menjadi relevan. Sebagai mantan Sekdis Cipta Karya dan Tata Ruang, Beni berada di jantung birokrasi teknis—wilayah yang menjadi penghubung antara kepentingan politik kepala daerah dan pelaksanaan proyek di lapangan.
KPK menegaskan keterangannya dibutuhkan untuk mengurai perkara ini.
“KPK mengimbau agar pada penjadwalan berikutnya kooperatif dan memenuhi panggilan penyidik, karena keterangannya diperlukan dalam penyidikan perkara di wilayah Kabupaten Bekasi,” ujar Budi Prasetyo.
Beni sendiri bukan sosok asing dalam perkara ini. Ia sempat ikut terjaring OTT dan diperiksa KPK pada tahap awal. Ketidakhadirannya dalam panggilan lanjutan menimbulkan pertanyaan: apakah ini sekadar soal teknis pemanggilan, atau ada lapisan persoalan lain yang belum tersentuh?
Korupsi yang Tak Berdiri Sendiri
Kasus suap di Kabupaten Bekasi ini memperlihatkan bahwa korupsi kepala daerah jarang berdiri sendiri. Ia tumbuh dalam ekosistem birokrasi yang memungkinkan, membiarkan, atau bahkan memfasilitasi praktik tersebut.
Dari sisi KPK, pemanggilan pejabat teknis seperti Beni menunjukkan upaya untuk menembus lapisan administratif yang selama ini sering luput dari sorotan publik. Bukan hanya siapa yang menerima uang, tetapi bagaimana sistem pemerintahan bekerja—or justru gagal bekerja—menjadi fokus penyidikan.
Mangkirnya saksi kunci memperpanjang daftar tanda tanya dalam perkara ini. Publik Kabupaten Bekasi, yang selama bertahun-tahun akrab dengan persoalan tata ruang, perizinan, dan proyek infrastruktur bermasalah, menunggu apakah kasus ini akan benar-benar dibuka hingga ke akar.
Pemanggilan ulang akan menjadi ujian: bukan hanya bagi Beni Saputra sebagai saksi, tetapi juga bagi komitmen penegakan hukum untuk membongkar relasi kuasa, uang, dan proyek yang selama ini beroperasi di balik meja birokrasi.
Di titik ini, perkara Bekasi bukan sekadar kasus suap. Ia adalah potret bagaimana kekuasaan lokal bekerja—dan bagaimana hukum mencoba mengejarnya, selangkah demi selangkah.
Ikuti Kami di GOOGLE NEWS
Simak berita seputar Bekasi di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Gobekasi.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VarakafA2pLDBBYbP32t. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
(Zachra Mutiara Medina)












