Kabupaten Bekasi – Pengakuan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bekasi soal kerja sama tertulis dengan Kelompok Masyarakat Pemilah Sampah (KMPS) Kelurahan Kebalen justru membuka tabir persoalan yang lebih mendasar: pengelolaan sampah yang dibiarkan berjalan setengah hati, tanpa pengawasan dan skema akuntabilitas yang jelas.
DLH membenarkan pernah menjalin kerja sama resmi dengan KMPS Kebalen. Namun kerja sama itu dihentikan karena dinilai tidak efektif dan tidak sesuai ketentuan. Pernyataan ini menegaskan bahwa persoalan TPS liar di Kebalen bukan peristiwa dadakan, melainkan akumulasi pembiaran panjang.
“Kerja samanya memang ada secara tertulis, tapi pelaksanaannya kami nilai kurang efektif. Sampah yang dihasilkan tidak sebanding dengan yang diangkut oleh pihak UPTD 1,” kata Humas DLH Kabupaten Bekasi, Dedi Kurniawan.
Masalah utama yang diungkap DLH adalah ketimpangan antara volume sampah dan kontribusi retribusi. Sampah terus menggunung, tetapi yang disetorkan ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Burangkeng hanya satu hingga dua truk per minggu. Padahal, menurut DLH, beban riil sampah di wilayah itu bisa tiga kali lipat.
Di sinilah ironi muncul. Negara—dalam hal ini pemerintah daerah—mengakui siap mengerahkan hingga 10 truk pengangkut sampah per hari. Namun kesiapan itu disyaratkan pada satu hal: retribusi masuk ke kas daerah. Ketika kontribusi dinilai tidak seimbang, pelayanan dikendurkan, dan ruang abu-abu pun tercipta. Di ruang inilah TPS liar tumbuh subur.
DLH menyebut TPS di belakang ruko Perumahan Taman Kebalen telah ditutup sejak 2024 dan bahkan disegel Satpol PP. Tetapi fakta bahwa TPS liar itu kembali beroperasi menunjukkan satu hal: penegakan aturan berhenti pada simbol segel, bukan pada pengawasan berkelanjutan.
Lebih jauh, DLH juga menyoroti keberadaan gerobak-gerobak sampah yang beroperasi tanpa kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Evaluasi disebut sedang dilakukan. Namun publik patut bertanya: bagaimana mungkin sistem pengangkutan informal ini dibiarkan beroperasi lama tanpa regulasi yang jelas, lalu baru dievaluasi setelah persoalan meledak ke ruang publik?
Ledakan itu terjadi ketika warga mengadu langsung kepada Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Lewat unggahan video di media sosial, keluhan warga Kebalen soal dugaan TPS liar menjadi konsumsi publik luas. Dalam hitungan jam, reaksi berjenjang pun terjadi.
PLT Bupati Bekasi, Asep Surya Atmaja, turun langsung dan menutup operasi TPS liar pada Minggu (28/12/2025). Penutupan itu disertai peringatan keras kepada aparat setempat agar tidak ada lagi aktivitas pembuangan sampah.
“Keluhan sampah itu adalah kewenangan wajib PLT Bupati atau Bupati dan kepala daerah setempat,” ujar Dedi Mulyadi dalam videonya—sebuah pernyataan yang sekaligus menjadi teguran terbuka bagi pemerintah Kabupaten Bekasi.
Namun penutupan TPS liar hanyalah langkah reaktif. Asep sendiri mengakui bahwa sanksi belum ditentukan dan masih akan dibahas. Artinya, hingga kini belum ada kejelasan siapa yang bertanggung jawab atas pembiaran TPS ilegal, siapa yang diuntungkan, dan siapa yang dirugikan.
Kasus Kebalen memperlihatkan kegagalan tata kelola sampah dari hulu ke hilir: kerja sama yang lemah, pengawasan yang longgar, retribusi yang bocor, hingga penegakan hukum yang menunggu viral. Negara hadir, tetapi terlambat.
Tanpa pembenahan menyeluruh—mulai dari skema kerja sama berbasis kinerja, transparansi retribusi, hingga penindakan tegas terhadap praktik ilegal—TPS liar hanya akan berpindah lokasi, bukan menghilang.
Dan warga Kebalen, seperti banyak wilayah lain di Kabupaten Bekasi, akan terus hidup di antara tumpukan sampah dan janji penataan yang tak kunjung tuntas.
Ikuti Kami di GOOGLE NEWS
Simak berita seputar Bekasi di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Gobekasi.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VarakafA2pLDBBYbP32t. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
(Sufi P.A)












