Jakarta – Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi XII DPR RI dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) kembali memunculkan polemik baru dalam kasus dugaan pelanggaran lingkungan oleh dua perusahaan pengelola limbah B3 di Kabupaten Bekasi, PT Harrosa Darma Nusantara (HDN) dan PT Harosindo Teknologi Indonesia (HTI).
Rapat yang digelar Selasa (18/11/2025), itu menyoroti langsung keputusan Deputi Gakkum KLH yang membuka segel kedua perusahaan, meski sejumlah syarat administratif disebut belum terpenuhi.
Dalam rapat yang berlangsung tegang, Komisi XII menyoroti ketidakhadiran Direktur Utama kedua perusahaan, Hartono Muhammad Fadli. Ia hanya mengutus kuasa hukum dan sejumlah direktur yang dinilai “tidak memahami” substansi persoalan.
“Mereka datang tanpa data, hanya mengandalkan argumen,” ujar seorang anggota Komisi XII dalam sidang dikutip dari tayangan Youtube TV Parlemen, Rabu (19/11/2025).
Temuan Pelanggaran Lama Terabaikan
Deputi Gakkum melalui Direktur Penegakan Hukum Lingkungan Hidup, Ardiyanto Nugroho, memaparkan daftar panjang pelanggaran yang dilakukan HDN dan HTI.
Sejumlah temuan, terutama pada HDN, dinilai mengarah kepada pencemaran lingkungan. Temuan ini mencakup pengelolaan limbah yang tidak sesuai standar, potensi kebocoran, hingga penyimpangan dokumen lingkungan.
Anehnya, meski temuan pelanggaran dianggap serius, segel yang sebelumnya dipasang pada Mei 2025 justru telah dibuka. Ardiyanto menyebut pembukaan segel dilakukan setelah perusahaan membayar denda administrasi dan tengah menjalani sanksi paksaan pemerintah.
Pernyataan itu langsung dikritik oleh pimpinan rapat. Komisi XII menilai proses tersebut tidak memenuhi unsur kehati-hatian. Beberapa anggota menyebut ada ketimpangan prosedur dan meminta Gakkum menjelaskan dasar pembukaan segel yang dinilai terlalu cepat.
“Kalau unsur administratifnya belum lengkap, mengapa segel sudah dibuka? Ada apa ini?” ujar seorang anggota Komisi XII.
Akun Fetrosnik Dibekukan, Izin Tak Lengkap Selama 14 Tahun
Deputi PSLB3 menegaskan bahwa akun Fetrosnik milik PT HDN telah dibekukan sejak 25 September 2025 dan tidak ada rekomendasi pengangkutan limbah yang diterbitkan setelahnya. Fakta ini memperkuat dugaan bahwa aktivitas perusahaan masih menyisakan potensi pelanggaran.
Komisi XII juga melihat pola pelanggaran yang berlangsung lama. Sejak berdiri tahun 2011, kedua perusahaan dinilai tidak pernah benar-benar memenuhi seluruh izin dan ketentuan pengelolaan lingkungan hidup.
“Sudah 14 tahun beroperasi, kok baru sekarang ketahuan pelanggarannya? Bagaimana pengawasan Gakkum selama ini?” kritik anggota lainnya.
Pimpinan rapat, Bambang Pattijaya, menyebut perusahaan memang tengah melakukan perbaikan, tetapi tidak menutup fakta bahwa pelanggaran yang terjadi sebelumnya harus ditindak tegas.
“Proses perbaikan patut diapresiasi, tapi bukan berarti pelanggaran dibiarkan,” katanya.
Komisi XII Tuntut Segel Ulang dan Proses Pidana
Dalam kesimpulan RDP, Komisi XII mendesak Gakkum KLH untuk melakukan penyegelan ulang terhadap PT HDN dan PT HTI.
Direktur Gakkum menyatakan kesanggupannya menjalankan perintah tersebut. DPR menegaskan bahwa keputusan politik dalam rapat menjadi keputusan hukum yang wajib ditindaklanjuti.
Komisi XII juga meminta penegakan hukum tidak hanya berhenti pada sanksi administrasi. Banyaknya pelanggaran yang ditemukan dinilai memenuhi unsur pidana lingkungan hidup.
“Dengan temuan sebanyak itu, tidak layak kalau kedua perusahaan masih diberi izin berusaha,” ucap seorang anggota.
Selain itu, Komisi XII mendesak KLH meningkatkan pengawasan terhadap seluruh pelaku usaha pengelola limbah di Jabodetabek. Gakkum menyatakan siap berkolaborasi dengan PSLB3 dalam pengawasan lanjutan.
Sementara itu, perwakilan dua perusahaan tersebut, Rini, menyebut jika HTI bukan perusahaan limbah, tetapi perusahaan manufaktur yang mana terdapat proses produksi.
“Jadi bukan pengelolaan limbah pimpinan,” katanya.
Direktur PT HTI, Tantan Herianto juga membantah adanya pembuaan segel dan beroperasinya kembali PT HTI.
“Selama di Bulan Mei 2025 itu, PT HTI melakukan proses produksi untuk ke custumernya jadi tetap berjalan tapi tidak dilakukan di area HTI, sama sekali tidak ada aktivitas di HTI,” katanya.
Pertanyaan Tak Terjawab: Ada Apa di Balik Pembukaan Segel?
Meski sidang menghasilkan desakan keras, belum ada penjelasan rinci mengenai mengapa Gakkum membuka segel sebelum seluruh unsur administrasi tuntas. Keputusan itu menjadi tanda tanya yang menggantung dan memicu kecurigaan publik.
Apakah ada kelalaian prosedur, salah tafsir regulasi, atau ada intervensi di balik layar? Hingga kini KLHK belum memberikan keterangan yang mampu meredam spekulasi tersebut.
Komisi XII memastikan akan terus mengawal kasus ini hingga penegakan hukum berjalan sebagaimana mestinya.
Sebelumnya diketahui, KLH menyegel dua perusahaan pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) di Kabupaten Bekasi. Kedua perusahaan tersebut adalah PT HDN yang berlokasi di Kawasan Central Cikarang Industrial Park, dan PT HTI.
Deputi Bidang Penegakan Hukum KLH, Irjen Pol Rizal Irawan, menyatakan bahwa PT HDN diduga melakukan pelanggaran terhadap persetujuan lingkungan dan persetujuan teknis dalam pengelolaan limbah B3.
“PT HDN melakukan kegiatan pengangkutan dan pengumpulan limbah B3 yang tidak tercantum dalam dokumen lingkungan di kawasan tersebut,” kata Rizal, Senin (19/5/2025).
Selain itu, PT HDN juga diduga memperluas kegiatan pengumpulan limbah B3 hingga ke wilayah Kabupaten Karawang, yang berada di luar cakupan wilayah izin teknisnya yang terbatas hanya untuk Kabupaten Bekasi.
Atas pelanggaran ini, PT HDN terancam dikenai sanksi sesuai Pasal 11 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Sementara itu, PT HTI disegel karena diduga beroperasi tanpa dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL), serta tanpa persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang.
“Dokumen tersebut merupakan syarat utama sebelum suatu usaha dapat beroperasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 PP Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko,” tegas Rizal.
Direktur Pengaduan dan Pengawasan Lingkungan Hidup KLH, Ardyanto Nugroho, menambahkan bahwa PT HTI juga tidak mengelola limbah B3 yang dihasilkannya, seperti oli bekas dari proses produksi metal stamping.
“Ini melanggar Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang telah diubah dengan UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja,” jelas Ardyanto.
KLH menegaskan, seluruh pelaku usaha wajib mematuhi ketentuan dan peraturan lingkungan hidup sebagai bentuk komitmen terhadap keberlanjutan ekosistem dan perlindungan masyarakat.
“Kami tidak akan ragu menindak tegas setiap pelanggaran yang merugikan lingkungan,” tutup Rizal.
Ikuti Kami di GOOGLE NEWS
Simak berita seputar Bekasi di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Gobekasi.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VarakafA2pLDBBYbP32t. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.













