Kabupaten Bekasi – Penetapan Bupati Bekasi nonaktif Ade Kuswara Kunang sebagai tersangka suap kembali membuka persoalan lama dalam politik lokal: mahalnya ongkos kekuasaan dan rapuhnya integritas kepala daerah.
Usia yang masih muda—32 tahun—dan kekayaan yang mencapai Rp79 miliar tidak serta-merta menjadi benteng terhadap praktik korupsi.
Komisi Pemberantasan Korupsi menduga Ade bersama ayahnya, HM Kunang, menerima ijon proyek senilai Rp9,5 miliar dari pihak swasta berinisial SRJ.
Selain itu, sepanjang 2025 Ade juga diduga menerima aliran dana lain hingga Rp4,7 miliar. Pola ini bukan anomali dalam praktik korupsi kepala daerah, melainkan bagian dari skema berulang yang kerap ditemukan KPK.
Mantan penyidik KPK, Yudi Purnomo Harahap, menilai mahalnya biaya politik menjadi faktor kunci. Kepala daerah harus menanggung ongkos pencalonan, konsolidasi partai, hingga mobilisasi massa yang tidak kecil membuat kepala daerah berpikir untuk balik modal.
“OTT KPK semakin menegaskan bahwa kondisi korupsi semakin memprihatinkan. Bahwa integritas benar benar menjadi problem serius. Apalagi muda dan kaya pun bukan jaminan tidak korupsi,” kata Yudi, Minggu (21/12/2025).
Cara yang ditempuh, menurut dia, sering kali melalui jual beli jabatan, ijon proyek, dan suap perizinan.
Fenomena tersebut tidak terbatas pada kepala daerah dengan latar belakang ekonomi lemah.
Dalam sejumlah kasus, justru kepala daerah muda dengan akses modal kuat tetap terjerat korupsi.
Hal ini menunjukkan bahwa persoalan utama bukan sekadar kebutuhan ekonomi, melainkan lemahnya sistem kontrol dan normalisasi praktik transaksional dalam kekuasaan lokal.
Kasus Ade Kuswara juga memperlihatkan bagaimana relasi kekerabatan dimanfaatkan dalam praktik korupsi.
Keterlibatan ayah dan anak dalam perkara ini mempertegas bahwa jaringan informal—keluarga dan lingkaran dekat—sering menjadi medium aman untuk transaksi ilegal. Alih-alih menjadi mekanisme kontrol moral, hubungan personal justru berubah menjadi instrumen kejahatan.
“Termasuk menggunakan hubungan kekerabatan seperti ayah dan anak yang bukannya saling mengingatkan malah kerjasama untuk korupsi,” ujarnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, KPK mencatat sejumlah kepala daerah muda terseret perkara serupa.
Mereka datang dengan narasi pembaruan dan regenerasi, tetapi berhadapan dengan sistem politik yang sama: pembiayaan mahal, tekanan balas jasa, dan lemahnya pengawasan internal.
Usia muda tidak otomatis melahirkan politik bersih ketika struktur yang menopangnya tetap koruptif.
Bagi KPK, perkara Ade Kuswara menambah daftar panjang kepala daerah yang terjerat korupsi tak lama setelah menjabat.
Sementara publik menilai, kasus ini kembali menegaskan bahwa reformasi politik lokal belum menyentuh akar persoalan: transparansi pembiayaan politik, pengawasan pascapemilihan, dan akuntabilitas kekuasaan.
Tanpa pembenahan sistemik, regenerasi kepemimpinan hanya akan mengganti wajah, bukan praktik.
Kepala daerah boleh muda, berpendidikan, dan kaya, tetapi selama ongkos politik tetap tinggi dan mekanisme kontrol lemah, risiko korupsi akan terus mengintai kekuasaan di tingkat lokal.
Diketahui, KPK menetapkan Ade Kuswara dan ayahnya, HM Kunang sebagai tersangka suap izin proyek di Kabupaten Bekasi. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka bersama pihak swasta berinisial SRJ.
Pelaksana tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu menuturkan, penetapan tersangka itu bermula saat KPK menggelar operasi senyap pada, Kamis (18/12/2025).
“Kemudian dalam kegiatan tersebut tim mengamankan sejumlah 10 orang ya, yang kemudian delapan di antaranya dibawa ke Gedung Merah Putih KPK untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut,” kata Asep saat jumpa pers dari kantornya, Jakarta Selatan, Sabtu (20/12/2025
Setelah dilakukan pemeriksaan intensif pada tahap penyelidikan, Asep berkata, pihaknya telah menemuka dugaan peristiwa tindak pidana. Untuk itu, kata dia, kasus ini dinaikkan ke tahap penyidikan setelah mempertimbangkan keterangan saksi dan bukti yang ada.
Asep mengatakan Ade meminta ijon proyek yang belum diadakan kepada SRJ. Jumlah ijon proyek yang diperoleh Ade sebanyak Rp9,5 miliar.
“Total ijon yang diberikan oleh SRJ kepada ADK bersama-sama HMK mencapai Rp9,5 miliar. Pemberian uang dilakukan dalam empat kali penyerahan melalui para perantara,” ucapnya.
“Selain aliran dana tersebut, sepanjang tahun 2025 ADK juga diduga mendapat penerimaan lainnya yang berasal dari sejumlah pihak sehingga totalnya Rp4,7 miliar,” tuturnya.
Dalam operasi tangkap tangan tersebut, KPK turut mengamankan barang bukti berupa uang tunai Rp 200 juta yang ditemukan di rumah pribadi Ade Kuswara. Uang itu diduga merupakan sisa setoran keempat dari Sarjan.
“Uang tersebut merupakan sisa setoran ‘ijon’ proyek keempat yang belum sempat diserahkan seluruhnya,” ujar Asep.
Atas perbuatannya, Ade Kuswara Kunang dan H. M. Kunang sebagai penerima suap dijerat Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 serta Pasal 12B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sarjan sebagai pemberi suap dijerat Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Tipikor.
Ketiga tersangka langsung ditahan untuk 20 hari pertama, terhitung sejak 20 Desember 2025 hingga 8 Januari 2026, di rumah tahanan KPK.