Kota Bekasi – Refleksi akhir tahun seharusnya menjadi ruang paling jujur bagi seorang kepala daerah: mengukur capaian, mengakui kegagalan, dan membuka peta masalah yang belum terurai.
Namun refleksi yang disampaikan Wali Kota Bekasi Tri Adhianto justru dinilai jauh dari semangat itu. Alih-alih menjadi evaluasi, refleksi tersebut dianggap lebih menyerupai etalase klaim keberhasilan.
Ketua Umum Forum Komunikasi Intelektual Muda Indonesia (Forkim), Mulyadi, menyebut refleksi akhir tahun Wali Kota Bekasi kehilangan substansi dan keberanian politik.
“Setiap refleksi selalu dipenuhi narasi keberhasilan dan target normatif. Padahal problem utama warga—banjir, sampah, pengangguran, dan kemacetan—tetap berulang. Jika ini disebut refleksi, maka ini refleksi yang tidak jujur,” kata Mulyadi, Senin (29/12/2025).
Banjir: Masalah Kronis yang Selalu Diulang
Banjir menjadi titik kritik paling tajam. Hampir setiap musim hujan, wilayah-wilayah yang sama kembali terendam. Fenomena ini, menurut Mulyadi, menunjukkan kegagalan sistemik, bukan sekadar faktor cuaca.
Normalisasi drainase, pengendalian alih fungsi lahan, dan mitigasi bencana kerap disampaikan sebagai program unggulan. Namun di lapangan, hasilnya nyaris tak terasa.
“Ini bukan lagi soal cuaca ekstrem, tapi soal kegagalan sistemik. Jika setiap musim hujan banjir terulang di titik yang sama, berarti pemerintah tidak belajar dari akar masalah,” ujarnya.
Dalam konteks ini, refleksi tanpa pengakuan kegagalan justru memperlebar jarak antara narasi pemerintah dan realitas warga.
Sampah: Kota Modern dengan Pola Lama
Di sektor persampahan, kondisi TPS Sumur Batu kembali menjadi sorotan. Tumpukan sampah yang menggunung, pengelolaan yang tidak terintegrasi, serta minimnya inovasi menjadi pemandangan rutin.
Retorika kota modern dan ramah lingkungan, kata Mulyadi, berbanding terbalik dengan praktik di lapangan.
“Sampah masih ditangani dengan pola lama. Tidak ada lompatan kebijakan, tidak ada terobosan. Yang ada hanya rutinitas tanpa hasil,” ujarnya.
Masalah ini menunjukkan absennya kepemimpinan yang berani melakukan perubahan struktural di sektor pelayanan dasar.
Pengangguran: Angka Tinggi, Program Tak Berdampak
Data pengangguran juga menjadi indikator lain yang dipersoalkan. Dengan angka yang disebut telah melampaui 105 ribu orang, Kota Bekasi dinilai gagal memanfaatkan posisinya sebagai kota industri dan penyangga ibu kota.
Program pelatihan dan penciptaan lapangan kerja memang ada, namun dinilai tidak menyentuh kebutuhan riil tenaga kerja lokal.
“Pelatihan ada, program ada, tapi dampaknya nyaris tidak terasa. Ini menunjukkan kebijakan yang tidak terukur dan tidak berpihak,” kata Mulyadi.
Kemacetan: Harga Mahal yang Dibayar Warga
Kemacetan yang semakin parah di berbagai ruas utama Kota Bekasi menjadi persoalan harian warga. Waktu, tenaga, dan biaya terbuang di jalan. Namun solusi yang ditawarkan pemerintah dinilai reaktif dan tambal sulam.
Buruknya integrasi transportasi, lemahnya rekayasa lalu lintas jangka panjang, serta pembangunan infrastruktur yang tidak sinkron memperparah situasi.
“Setiap hari warga membayar mahal atas kegagalan perencanaan kota. Tapi refleksi wali kota seolah menutup mata atas realitas ini,” ujarnya.
Kekuasaan dan Penempatan Pejabat
Kritik tidak berhenti pada kebijakan sektoral. Mulyadi juga menyoroti arah kepemimpinan Tri Adhianto yang dinilainya semakin elitis dan sarat kepentingan kekuasaan.
Ia menyinggung penempatan pejabat yang dianggap tidak berbasis kompetensi, termasuk dugaan penempatan kerabat dekat di posisi strategis serta mutasi yang tidak berorientasi pada peningkatan pelayanan publik.
“Mutasi memang hak prerogatif wali kota. Tapi jika jabatan diisi tanpa mempertimbangkan kapasitas dan integritas, hasilnya hanya melahirkan pejabat yang tidak produktif,” katanya.
Refleksi atau Sekadar Panggung Pencitraan
Bagi Mulyadi, refleksi akhir tahun seharusnya menjadi momentum koreksi total, bukan panggung pencitraan politik. Tanpa keberanian mengakui kegagalan, persoalan-persoalan dasar Kota Bekasi akan terus berulang.
“Tanpa evaluasi jujur, masalah hanya diwariskan dari tahun ke tahun,” ujarnya.
Ia menutup dengan pernyataan yang mencerminkan kegelisahan publik.
“Kota Bekasi tidak membutuhkan pemimpin yang sibuk membangun pencitraan melalui seremoni tanpa solusi nyata. Bekasi membutuhkan kepemimpinan yang benar-benar bekerja, berpihak kepada rakyat, serta berani mengakui dan memperbaiki setiap kesalahan,” pungkas Mulyadi.
Ikuti Kami di GOOGLE NEWS
Simak berita seputar Bekasi di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Gobekasi.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VarakafA2pLDBBYbP32t. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.












