Bekasi  

Silpa Rp422 Miliar: Anggaran Mengendap, Masalah Mengendap

Kabupaten Bekasi - Kompleks Perkantoran Pemerintah Kabupaten Bekasi. Foto: Ist
Kompleks Perkantoran Pemerintah Kabupaten Bekasi. Foto: Ist

Kabupaten Bekasi – Besarnya Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa) APBD Kabupaten Bekasi 2025 yang diproyeksikan menembus Rp422 miliar membuka kembali persoalan klasik pengelolaan anggaran daerah: uang ada, belanja tersendat, manfaat tak sepenuhnya sampai ke warga.

Angka Silpa tersebut bukan sekadar catatan teknis penutup buku anggaran. Ia menjadi cermin bahwa perencanaan, eksekusi, dan tata kelola belanja daerah masih menyimpan banyak celah.

Di tengah kebutuhan pelayanan publik yang mendesak—dari infrastruktur dasar, kesehatan, hingga pendidikan—ratusan miliar rupiah justru mengendap di kas daerah.

Pelaksana Tugas Bupati Bekasi, Asep Surya Atmaja, mengakui besarnya potensi Silpa tersebut.

Ia menyebutkan bahwa Silpa 2025 telah dimasukkan dalam struktur APBD 2026 yang totalnya mencapai Rp7,7 triliun, dengan porsi sekitar Rp422 miliar berasal dari sisa anggaran tahun berjalan.

“Silpa itu sudah masuk APBD 2026 sebesar Rp7,7 triliun. Di dalamnya ada Silpa sekitar Rp422 miliaran,” ujar Asep, dikutip Selasa (30/12/2025).

Namun penjelasan pemerintah daerah bahwa Silpa besar disebabkan oleh antrean administrasi pencairan di akhir tahun justru memunculkan pertanyaan lanjutan.

Jika pekerjaan fisik telah rampung, mengapa proses administrasi tak diantisipasi sejak awal? Mengapa pola keterlambatan ini terus berulang dari tahun ke tahun?

Dalih “pekerjaan sudah selesai, tinggal pencairan” kerap terdengar setiap akhir tahun anggaran. Tetapi dalam logika pengelolaan keuangan publik, administrasi bukan urusan pinggiran. Ia adalah bagian integral dari perencanaan. Kegagalan mengatur ritme pencairan sama artinya dengan kegagalan mengelola anggaran secara utuh.

Serapan APBD Kabupaten Bekasi yang hingga akhir tahun baru mencapai sekitar 80 persen mempertegas persoalan tersebut. Target menaikkan serapan hingga 90–91 persen menjelang tutup tahun memang terdengar optimistis, tetapi angka serapan tinggi tidak otomatis identik dengan belanja yang berkualitas.

Pernyataan Asep bahwa seluruh OPD akan dipanggil satu per satu untuk mempresentasikan realisasi kegiatan mencerminkan adanya tekanan dari pemerintah provinsi agar APBD “dihabiskan”. Namun dorongan menghabiskan anggaran juga menyimpan risiko: belanja tergesa-gesa, kualitas pekerjaan menurun, dan tujuan program justru kabur.

Sorotan kritis datang dari DPRD Kabupaten Bekasi. Wakil Ketua DPRD, Aria Dwi Nugraha, mengingatkan bahwa evaluasi Silpa tidak boleh berhenti pada angka serapan.

“Jangan sampai APBD terserap habis, tapi tujuan penggunaannya untuk kepentingan masyarakat belum tercapai,” ujarnya.

Peringatan ini relevan. Sebab, problem anggaran daerah bukan semata soal berapa persen yang terserap, melainkan sejauh mana belanja itu menjawab kebutuhan riil warga. Jalan rusak, banjir, pelayanan kesehatan yang timpang, hingga kualitas pendidikan—semua itu tidak bisa diselesaikan dengan logika akuntansi belaka.

Silpa Rp422 miliar pada akhirnya menjadi alarm keras. Ia menandai adanya jarak antara perencanaan di atas kertas dan realitas di lapangan. Jika pola ini terus dibiarkan, APBD berpotensi berubah menjadi dokumen rutinitas tahunan, bukan instrumen perubahan sosial.

Pertanyaannya kini bukan lagi apakah Silpa bisa ditekan tahun depan, melainkan apakah Pemerintah Kabupaten Bekasi berani melakukan pembenahan mendasar: perencanaan yang realistis, kalender kerja yang disiplin, dan belanja yang berorientasi pada dampak, bukan sekadar penyerapan.

Tanpa itu, Silpa besar hanya akan terus berulang—sementara kebutuhan publik tetap menunggu.

Ikuti Kami di GOOGLE NEWS

Simak berita seputar Bekasi di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Gobekasi.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VarakafA2pLDBBYbP32t. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

(Shyna S.V)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *