Kabupaten Bekasi – Menjelang tutup tahun 2025, inflasi di Kabupaten Bekasi justru bergerak naik, menekan daya beli masyarakat di tengah momentum Natal dan Tahun Baru 2026. Harga kebutuhan pokok meroket, sementara upaya stabilisasi pemerintah daerah dinilai belum menyentuh akar persoalan.
Dinas Perdagangan Kabupaten Bekasi mencatat inflasi telah mencapai 4,27 persen, jauh melampaui ambang batas normal 2,5 persen. Angka ini bukan hanya tinggi, tetapi juga menempatkan Kabupaten Bekasi sebagai salah satu daerah dengan inflasi tertinggi di Jawa Barat—bahkan melampaui sejumlah wilayah penyangga Jakarta seperti Bogor dan Depok.
“Kalau dibandingkan kabupaten lain di Jawa Barat, termasuk Jabodetabek, kita (Kabupaten Bekasi) termasuk tinggi,” kata Kepala Bidang Pengendalian Barang Pokok dan Penting Disdag Kabupaten Bekasi, Helmi Yenti, Selasa (30/12/2025).
Inflasi kali ini juga tidak menunjukkan perbaikan dibandingkan periode Natal dan Tahun Baru tahun lalu. Artinya, lonjakan harga bukan anomali sesaat, melainkan pola tahunan yang terus berulang tanpa solusi struktural.
Cabai, Ayam, dan Bawang: Trio Penyumbang Inflasi
Kajian Disdag menunjukkan lonjakan inflasi dipicu oleh tiga komoditas utama: cabai rawit besar, daging ayam potong, dan bawang merah.
Harga cabai merah yang normalnya berada di kisaran Rp 40.000 per kilogram, kini melonjak hingga Rp 80.000–85.000. Daging ayam potong bertahan di level Rp 40.000 per kilogram, sementara bawang merah merangkak di kisaran Rp 40.000–50.000 per kilogram.
Ironisnya, kenaikan ini diprediksi belum mencapai puncak. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) masih mengeluarkan peringatan cuaca ekstrem—faktor yang kerap menjadi alasan klasik lonjakan harga pangan.
“Berharap ini puncaknya, tapi memang masih ada potensi naik,” ujar Helmi.
Cuaca Buruk dan Rantai Pasok Rapuh
Cuaca ekstrem disebut sebagai pemicu utama terganggunya pasokan. Kabupaten Bekasi selama ini bergantung pada daerah pemasok seperti Garut, Sukabumi, hingga Magelang. Namun hujan berkepanjangan menyebabkan banyak komoditas rusak sebelum sampai ke pasar.
Penurunan pasokan bahkan mencapai 40 persen. Di Pasar Induk Cibitung, kebutuhan cabai normalnya 35–40 ton per hari per jenis, tetapi saat ini hanya sekitar 25 ton yang masuk.
Situasi makin pelik karena daerah alternatif pemasok juga bermasalah. Sumatera Barat dan Aceh—yang biasanya menjadi penyangga pasokan cabai—tengah dilanda bencana banjir.
“Biasanya kami kerja sama dengan Aceh, tapi sekarang Aceh banjir, Sumatera Barat juga,” kata Helmi.
Kondisi ini memperlihatkan rapuhnya sistem ketahanan pangan daerah. Ketergantungan pada daerah tertentu tanpa skema cadangan membuat Kabupaten Bekasi rentan setiap kali cuaca memburuk.
Operasi Pasar: Solusi Sementara?
Sebagai respons cepat, pemerintah daerah menggelar operasi pasar bersubsidi. Sebanyak 4.606 paket sembako disalurkan dengan harga tebus Rp 40.000, padahal nilai aslinya mencapai Rp 97.000.
“Harapannya selisih harga itu bisa digunakan masyarakat untuk membeli cabai, ayam, atau komoditas lain yang sedang mahal,” ujar Helmi.
Namun, operasi pasar kerap menuai kritik. Program ini dianggap hanya bersifat tambal sulam, membantu sebagian kecil warga, sementara harga pasar tetap melambung. Tanpa intervensi pada sisi produksi dan distribusi, operasi pasar hanya meredam gejolak sesaat.
Menunggu Strategi Jangka Panjang
Disdag Kabupaten Bekasi mengaku tengah menjajaki kerja sama dengan daerah lain untuk menambah pasokan. Targetnya sederhana: harga tidak harus kembali normal, tetapi setidaknya turun dari posisi saat ini.
Pernyataan ini mencerminkan realitas pahit—pemerintah daerah seolah menurunkan ekspektasi publik. Stabilitas harga tidak lagi dimaknai sebagai keterjangkauan, melainkan sekadar penurunan relatif dari harga yang sudah telanjur tinggi.
Ikuti Kami di GOOGLE NEWS
Simak berita seputar Bekasi di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Gobekasi.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VarakafA2pLDBBYbP32t. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
(Sufi P.A)












