Ratusan pelajar Kelas X dan XI SMAN 9 Tambun Selatan menggelar aksi damai di halaman sekolah, Selasa (3/6/2025), untuk menuntut penjelasan kepala sekolah terkait pungutan liar (pungli) yang dinilai menyalahi aturan.
Mereka menyoroti dana “sumbangan” yang diklaim digunakan untuk pembangunan gedung serta pembelian perangkat AC musala, namun hingga kini belum terealisasi.
“Orang tua saya sudah membayar setiap tahun Rp 500.000 kepada sekolah. Katanya untuk pembangunan gedung, tapi kondisi masih begini-gini saja,” ungkap RP, salah satu siswa dan saksi, Kamis (5/6/2025).
RP menambahkan, sejak 2023 sekolah memungut dana pembangunan dengan nominal yang tidak dibatasi. Selain itu, untuk pengadaan alat pendingin ruangan musala, siswa diminta menyumbang Rp 20.000 per hari per kelas.
Selama penarikan iuran, siswa dan komite UKS pernah mempertanyakan kejelasan penggunaan dana tersebut.
Namun, sampai saat ini, gedung baru belum berdiri dan fasilitas kesehatan sekolah (UKS) kekurangan obat selama dua bulan terakhir.
“Kami jadi terpaksa mengeluarkan uang pribadi untuk membeli obat jika ada siswa yang sakit,” katanya.
“Kami juga diminta menandatangani daftar hadir—padahal tidak ada kegiatan yang dibuktikan,” kata salah satu pelajar yang ikut aksi.
Selain itu, saat sekolah mengklaim telah menyelenggarakan sejumlah kegiatan internal, snack untuk siswa tidak pernah dibagikan, menimbulkan kecurigaan bahwa dana sumbangan telah dipakai untuk kebutuhan lain.
Tanggapan Sekolah: Sumbangan Bersifat Sukarela
Humas SMAN 9 Tambun Selatan, Sahri Ramadhan, mengakui pernah ada permintaan sumbangan. Menurutnya ada sumbangan akademik dan non-akademik, tetapi sifatnya tidak wajib. Besaran ditetapkan berdasar kesanggupan orang tua.
Sahri menyatakan, dana sumbangan tersebut sudah dibicarakan dan disepakati siswa serta orang tua, meski tidak memberikan batasan nominal.
Mengenai daftar hadir, Sahri menjelaskan bahwa permintaan tanda tangan dilakukan oleh tata usaha baru-baru ini untuk memperbaiki surat pertanggungjawaban (SPJ) kegiatan.
“Anak-anak merasa apa yang ditandatangani itu tidak berdasar fakta karena memang SPJ-nya perlu perbaikan,” kata dia membantah adanya paksaan.
Sahri berjanji pihak sekolah akan mengevaluasi dan meninjau kembali mekanisme penggalangan dana.
“Kami akan melihat sejauh mana sumbangan sudah tepat guna atau belum,” ujarnya.
Kasus Pungli di Sekolah Negeri Kian Marak
Kasus Pungli marak terjadi hamper setiap sekolah tingkat atas dan kejuaran negeri di Kota Bekasi.
Di SMK Negeri 5, seorang kerabat siswa berinisial NP menuturkan, jika di Kelas X siswa wajib Rp 1,5 juta, kelas XI Rp 1,8 juta, dan kelas XII Rp 2 juta, dibayar per bulan.
Bahkan, saat siswa lulus, kwitansi pembayaran diduga dikembalikan ke sekolah untuk menghilangkan jejak bukti pungutan.
Sementara di SMK Negeri 11, wali murid berinisial DJ menuturkan bahwa jalur prestasi tetap dipungut biaya Rp 200.000 per bulan, meski jalur zonasi gratis. Pembayaran dialihkan ke rekening Komite Sekolah dan telah berjalan sejak tahun ajaran 2023.
Forum Komunikasi Intelektual Muda Indonesia (Forkim) mendesak Kejaksaan Negeri Kota Bekasi mengusut dugaan pungli di SMA dan SMK Negeri Kota Bekasi.
Ketua Forkim, Mulyadi, menegaskan, praktik pungli di sekolah akan menjadi “akar kerusakan moral dan pendidikan” jika tidak ditindaklanjuti.
“Korupsi di sektor pendidikan sangat meresahkan. Ini bukan hanya dilakukan oleh staf, tapi juga oleh guru dan kepala sekolah,” tegas Ketua Forkim, Mulyadi, Kamis (22/5/2025).
Mulyadi menambahkan bahwa praktik pungli di sekolah kerap dianggap remeh oleh aparat penegak hukum karena nilai nominalnya yang dianggap kecil. Padahal, jika dibiarkan, ia menilai hal ini akan menjadi akar dari kerusakan moral dan pendidikan, serta mencetak generasi muda yang permisif terhadap korupsi.
“Lembaga pendidikan seharusnya menjadi ruang suci untuk menanamkan nilai kejujuran dan antikorupsi, bukan menjadi ladang praktik korupsi,” ujarnya.
Regulasi Bertentangan: Pergub Jabar vs Permendikbudristek
Permasalahan pungli di sekolah negeri kian rumit karena adanya Perturan Gubernur (Pergub)Jawa Barat No. 97/2022, yang disebut memberi ruang kepada komite untuk memungut dana atas nama dukungan pendanaan pendidikan.
Padahal, Permendikbudristek No. 75/2016 secara tegas menyatakan bahwa komite sekolah hanya boleh melakukan penggalangan dana sukarela, tidak mengikat, dan harus transparan.
Salah satu Kepala Sekolah, Agus Wimbadi, Plt SMK Negeri 5 Kota Bekasi, saat dikonfirmasi, menyebut bahwa regulasi dari pemerintah provinsi membolehkan adanya sumbangan.
“Ada regulasinya kok, mulai dari Permendikbud sampai Pergub Jabar,” ucap Agus singkat, Kamis (22/5/2025).
Namun, pernyataan ini dibantah oleh Kepala KCD Wilayah III Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, I Made Supriatna.
“Cabang Dinas Pendidikan dan Disdik sudah menyampaikan untuk tidak lagi adanya pungutan apa pun,” kata I Made saat dikonfirmasi, Senin (27/5/2025).
Pengawasan Diperketat, Sanksi Harus Tegas
Pengamat kebijakan publik, Adi Susila, menyayangkan praktik pungutan yang masih marak terjadi. Ia menegaskan bahwa pembiayaan pendidikan seharusnya menjadi tanggung jawab APBD Provinsi, bukan dibebankan kepada siswa.
“Seharusnya SPP dibebankan pada APBD Jawa Barat. Kalau masih ada pungutan, itu menyalahi aturan,” ujar Adi.
Ia juga menekankan bahwa masalah bukan terletak pada kewenangan provinsi atas SMA/SMK, melainkan lemahnya pengawasan dari Dinas Pendidikan.
“Pemprov punya UPTD Pendidikan dan sistem e-government. Tidak ada alasan untuk tidak bisa mengawasi,” tegasnya.
Adi menyerukan penegakan aturan dan pemberian sanksi tegas bagi sekolah yang melanggar, demi menjamin akses pendidikan yang adil dan bebas pungutan liar.
Ikuti Kami di GOOGLE NEWS
Simak berita seputar Bekasi di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Gobekasi.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VarakafA2pLDBBYbP32t. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.