Opini  

Alam Tak Pernah Salah Alamat

Foto udara Banjir di Kota Bekasi, Selasa (4/3/2025). Ist
Foto udara Banjir di Kota Bekasi, Selasa (4/3/2025). Ist

Bekasi – Di tanah Pasundan, sungai-sungai yang dulu mengalir jernih kini membawa kisah muram pembangunan. Hulu yang dulu teduh dengan pohon dan sumber air kini gundul. Gunung kehilangan penyangga, tanah kehilangan serat, dan manusia kehilangan arah. Di Jawa Barat, alam sedang menagih janji yang sudah terlalu lama diingkari.

Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) mencatat lebih dari 1.200 bencana alam melanda provinsi ini sepanjang 2024–2025. Di Garut dan Sumedang, banjir bandang menelan rumah dan nyawa; di Sukabumi, longsor memutus jalan dan harapan. Alam seperti tak lagi sabar menunggu manusia belajar.

Tokoh lingkungan yang juga Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, pernah mengingatkan: rusaknya kawasan hulu seperti Gunung Wayang dan Gunung Windu bukan sekadar hilangnya pepohonan, tapi hilangnya masa depan air bersih. Jika hulu mati, maka hilir akan kehausan. Kalimat itu terdengar puitis, tapi sesungguhnya adalah peringatan keras. Karena bagi alam, air bukan hanya sumber hidup, tapi juga cermin peradaban.

Forum Kader Konservasi Indonesia (FK3I) bahkan menyebut 2025 sebagai “tahun terberat” bagi pelestarian lingkungan Jawa Barat. Sebutan itu bukan hiperbola. Dari utara hingga selatan, dari Bekasi hingga Ciamis, bumi Pasundan kini menanggung beban dari kerakusan yang dilegalkan atas nama pembangunan.

Ironinya, ketika pemerintah menertibkan perusahaan perusak lingkungan, sering muncul pembelaan yang menyesatkan: dalih “menyelamatkan lapangan kerja” atau “mendukung ekonomi daerah”. Padahal yang sesungguhnya dipertahankan bukanlah kehidupan, melainkan keuntungan sesaat. Di balik setiap batang pohon yang ditebang, tersimpan kontradiksi klasik: pembangunan yang tumbuh di atas tanah yang perlahan mati.

Tiga Jalan Pulang ke Alam

Sudah saatnya pembangunan berhenti memandang lingkungan sebagai embel-embel estetika. Ekonomi, sosial, dan ekologi adalah satu kesatuan tubuh yang tak bisa dipisahkan. Ketika salah satu rusak, semuanya pincang.

Pertama, pemulihan hulu harus menjadi prioritas utama. Hulu adalah jantung air. Pemerintah daerah bisa memanfaatkan teknologi satelit dan Internet of Things (IoT) untuk memantau perubahan tutupan lahan secara real time. Reboisasi tak cukup dilakukan seremonial, tapi harus disertai pola agroforestry—menanam pohon produktif yang memberi nilai ekonomi bagi warga. Jika masyarakat mendapatkan penghidupan dari menjaga alam, pelestarian akan tumbuh bukan karena perintah, melainkan kesadaran.

Kedua, ekonomi hijau harus digerakkan melalui sirkularitas. Kawasan industri di Bekasi, Karawang, hingga Bandung Raya bisa menjadi laboratorium ekonomi sirkular. Limbah satu industri dapat menjadi bahan baku industri lain. Pemerintah perlu memberi insentif bagi perusahaan yang mengolah kembali air, energi, dan bahan mentah. Di level kota, sampah organik bisa menjadi energi, bank sampah digital bisa menjadi ekonomi rakyat.

Ketiga, pendidikan ekologis dan partisipasi publik. Kesadaran tak lahir dari kebijakan, melainkan dari pembiasaan. Sekolah, pesantren, dan kampus bisa menjadi laboratorium kecil bagi masa depan hijau: dari audit sampah sekolah, kebun pangan mandiri, hingga riset siswa tentang energi terbarukan. Ketika anak muda belajar mencintai bumi bukan lewat slogan, tapi lewat pengalaman, mereka akan tumbuh sebagai generasi penjaga, bukan perusak.

Alam Tak Pernah Salah Alamat

Krisis lingkungan seharusnya tidak lagi ditangisi, tapi dijadikan momentum perubahan. DPRD Jawa Barat sudah menyerukan pemetaan ulang kondisi ekologis, tapi pemetaan tak akan berguna tanpa keberanian menindak. Bayangkan jika di hulu Citarum berdiri “Desa Resapan Mandiri”, di Bekasi tumbuh “Zona Ekonomi Limbah Sirkular”, dan di sekolah-sekolah Bandung hadir “Eco-Lab Sekolah Hijau”. Di sanalah pembangunan bisa bersatu dengan kelestarian.

Namun jalan menuju keberlanjutan tidak murah. Biaya inovasi tinggi, hasilnya lambat, dan resistensi dari sektor lama selalu kuat. Karena itu, kolaborasi adalah kuncinya: pemerintah menyediakan regulasi dan fiskal hijau, industri membawa teknologi dan investasi, masyarakat menjaga semangat di tingkat lokal.

Sebab jika kita mau jujur, alam tidak pernah marah. Ia hanya merespons perlakuan manusia. Longsor, banjir, dan kekeringan bukan kutukan, melainkan surat teguran yang selalu dikirim ke alamat yang sama: manusia. Alam tak pernah salah alamat; manusialah yang salah membaca pesan.

Kini, kita dihadapkan pada dua pilihan: terus berjalan di jalur lama yang merusak, atau berani menata ulang arah menuju masa depan hijau. Jawa Barat memiliki modal sosial, tradisi, dan kreativitas yang melimpah. Yang dibutuhkan hanya satu: kemauan untuk kembali berpihak pada bumi.

Sebab menyelamatkan alam bukan tugas aktivis, melainkan tanggung jawab moral seluruh warga. Ketika petani menanam pohon di pinggir sawah, pelajar menolak plastik sekali pakai, atau pabrik mengubah limbah jadi energi—di sanalah masa depan tumbuh, diam-diam tapi pasti.

Penulis: Moh. Hairud Tijani (Alumnus UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Ia aktif menulis isu sosial, budaya, dan lingkungan, serta tergabung dalam Komunitas Ayo Less Waste (ALW), gerakan edukasi pengelolaan sampah berkelanjutan)

Ikuti Kami di GOOGLE NEWS

Simak berita seputar Bekasi di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Gobekasi.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VarakafA2pLDBBYbP32t. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *