Opini  

Kekuasaan Menumpuk Lebih Tinggi dari Gunung Sampah

Kota Bekasi - Ketinggian maksimal TPST Bantargebang.
Ketinggian maksimal TPST Bantargebang.

Kota Bekasi – Di timur Jakarta, di antara deru truk dan bau busuk yang menggantung di udara, berdiri sebuah monumen tak kasatmata: gunung kekuasaan yang menumpuk di atas gunung sampah. Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, Bekasi, bukan hanya penampungan limbah dari kehidupan metropolitan, tapi juga penampungan dari sistem yang membusuk perlahan — birokrasi, keserakahan, dan kebisuan.

Setiap hari lebih dari 7.000 ton sampah dari Jakarta dikirim ke sana. Truk-truk datang bergantian, membawa sisa kehidupan kota: plastik, makanan basi, kertas, dan debu urban. Warga sekitar sudah terbiasa dengan aroma busuk yang bagi orang luar mungkin tak tertahankan. Namun, bau yang paling menyengat di sana bukan berasal dari tumpukan organik yang membusuk, melainkan dari sistem pengelolaan yang dibiarkan lapuk oleh kekuasaan.

Sebuah liputan investigasi Kompas TV (20 Juni 2025) mengungkap dugaan persekongkolan antara pejabat daerah, pengusaha, dan pengelola tempat pembuangan liar. Sebagian sampah dari hotel dan pusat perbelanjaan tidak berakhir di tempat resmi, tapi dialihkan ke lahan-lahan ilegal di Bekasi, Depok, hingga Bogor.

Pemilik lahan bisa meraup hingga Rp500 juta sebulan. Sebagian uang itu, menurut laporan, mengalir ke pihak-pihak yang “mengamankan” agar operasi tak disegel. “Orangnya resmi, perusahaannya resmi, tapi praktiknya nakal,” ujar jurnalis Kompas TV, Galuh Bimantara.

Kalimat itu seperti ringkasan sempurna tentang wajah birokrasi kita: resmi di luar, busuk di dalam. Dalam rantai panjang tanggung jawab, semua pihak menunjuk ke atas, tak ada yang menunduk ke lapangan. Kekuasaan yang seharusnya mengatur justru melindungi yang melanggar.

Di tengah bau busuk itu, warga Bantar Gebang hanya menerima Rp350 ribu per bulan sebagai “uang bau”.

Podcast Kasisolusi (22 Agustus 2025) menampilkan komika asal Bantar Gebang, Egi Haw, yang menyebut uang itu bahkan tidak cukup untuk “menutup hidung”. Laporan Gobekasi.id (28 Juni 2025) menulis jumlah resmi kompensasi warga antara Rp200–300 ribu.

Artinya, sekitar Rp6.000–11.000 per hari untuk menanggung pencemaran udara, air, dan gangguan pernapasan. Jumlah itu lebih kecil dari biaya secangkir kopi di Jakarta, tapi itulah harga yang diberikan negara untuk menutup bau busuk kebijakan.

Bagi warga, uang itu bukan penghargaan. Mereka menyebutnya uang bau — simbol dari pembiaran yang dilegalkan. Dan ketika bau sudah menjadi keseharian, ketidakadilan pun ikut dinormalisasi. Dalam istilah sosiologi, kondisi ini disebut habitus: cara berpikir dan berperilaku yang tumbuh dari adaptasi panjang terhadap ketimpangan. Mereka belajar hidup dalam ketidakadilan, karena tak pernah benar-benar melihat alternatif selain pasrah.

Di balik itu, para pemulung menjadi bagian dari ekosistem sosial yang rumit. Mereka menggantungkan hidup dari yang dibuang orang lain. Bagi sebagian dari mereka, bau sampah bukan kutukan, melainkan berkah. Identitas sosial mereka melebur bersama tumpukan plastik dan sisa makanan — sebuah paradoks yang hanya bisa tumbuh di antara gunung ketimpangan.

Namun, di Bantar Gebang, api bukan hanya metafora. Kebakaran di zona dua pada 29 Oktober 2023 menjadi peringatan keras. Menurut laporan Kompas.com, api muncul akibat gas metana yang terbakar. Tapi publik bertanya-tanya, apakah ini sekadar kecelakaan atau cara cepat untuk mengurangi volume?

Dalam sistem yang tertutup, diamnya pejabat justru terdengar paling keras.

Fenomena itu memperlihatkan wajah lama pengelolaan lingkungan di negeri ini: reaktif, bukan preventif. Api selalu dipadamkan, tapi akar masalah dibiarkan menyala di bawah permukaan. Setiap tahun kebakaran kembali datang — seperti ritual tahunan yang mengingatkan bahwa gunung sampah itu tak hanya menumpuk secara fisik, tapi juga politis.

Masalah Bantar Gebang pada akhirnya bukan sekadar soal bau, tapi soal moral.

Ia menunjukkan bagaimana kekuasaan bekerja — bukan untuk melayani, tapi untuk menimbun. Semakin tinggi tumpukan kekuasaan, semakin dalam masyarakat dikubur di bawahnya.

Gunung sampah itu, jika mau jujur, adalah cermin dari kita semua: dari pejabat yang menutup mata, pengusaha yang membuang tanpa rasa bersalah, hingga warga kota yang sibuk asal bersih sendiri tanpa peduli ke mana kotorannya pergi.

Selama kekuasaan lebih sibuk menumpuk pengaruh daripada solusi, Bantar Gebang akan terus berdiri — bukan sebagai tempat pembuangan akhir, melainkan tempat pembuangan tanggung jawab sosial.
Dan di sana, gunung sampah akan terus menjulang, menandai satu kebenaran getir: di negeri ini, kekuasaan memang menumpuk lebih tinggi dari gunung sampah.

Penulis: Dhavina S. (Mahasiswa Sosiologi Universitas Brawijaya yang menaruh perhatian pada isu lingkungan dan kekuasaan di perkotaan)

Ikuti Kami di GOOGLE NEWS

Simak berita seputar Bekasi di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Gobekasi.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VarakafA2pLDBBYbP32t. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *