Kota Bekasi – Di tepi aliran Kalimalang yang selama puluhan tahun menyalurkan kehidupan bagi jutaan warga, Pemerintah Kota Bekasi sedang menyiapkan wajah baru: Wisata Air Kalimalang. Proyek ini digadang-gadang menjadi ikon modern ruang publik—tempat warga bersantai di tepi air jernih yang dulu hanya dikenal sebagai saluran irigasi raksasa.
Namun di balik rencana yang berkilau itu, muncul pertanyaan besar yang tak mudah diredam: dari mana sumber dananya berasal, dan siapa yang sebenarnya diuntungkan?
Janji Besar, Dana Tak Jelas
Ketika proyek ini pertama kali diumumkan, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menyebut pemerintah provinsi akan menyiapkan bantuan sekitar Rp60 miliar.
Pemerintah Kota Bekasi pun menggelontorkan dana Rp30 miliar di antaranya disebut untuk pedestrian dan fasilitas publik, sementara sisanya berasal dari dana Corporate Social Responsibility (CSR).
PT Mitra Patriot (PTMP) dipercayai untuk pengelola Wisata Air Kalimalang. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) itu lalu menunjuk langsung PT Miju Dharma Angkasa (MDA) sebagai pelaksana CSR sebesar Rp 36 miliar.
Namun hasil penelusuran di data registry perusahaan menunjukkan, PT MDA bukanlah konglomerasi kontruksi dan properti, melainkan pengelola kedai kopi dan nasi bakar di Transpark Juanda.
Fakta ini menggelitik akal sehat. Bagaimana mungkin sebuah perusahaan kecil menjadi sponsor tunggal proyek yang nilainya mencapai Rp36 miliar?
Ketua Forum Komunikasi Intelektual Muda Indonesia (Forkim) Mulyadi menerangkan secara logika bisnis, CSR sebesar itu biasanya disalurkan oleh perusahaan dengan laba bersih minimal Rp1,4 triliun per tahun—perusahaan raksasa dengan kemampuan mengerjakan proyek bernilai ratusan triliunan rupiah.
Informasi yang beredar menunjukkan, MDA sejatinya berperan sebagai penampung dana dari beberapa pengembang besar di sekitar Kalimalang. Skema ini kerap disebut efisien, namun tanpa dasar hukum yang tegas, berpotensi berubah menjadi jalur abu-abu antara tanggung jawab sosial dan kepentingan politik.
CSR yang Disetir
Dalam kerangka hukum–tambah Mulyadi–CSR tidak boleh diarahkan oleh pejabat publik. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan menegaskan bahwa pelaksanaannya harus mandiri, transparan, dan bebas dari intervensi pemerintah daerah.
Begitu dana CSR diarahkan untuk proyek bernilai strategis politik, posisinya bergeser—dari bantuan sosial menjadi potensi gratifikasi terselubung.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Laporan Tahunan 2023 mencatat fenomena “CSR by request” di sejumlah daerah: perusahaan menyetor dana, pejabat menunjuk proyek, dan semua pihak mendapat untung.
Menariknya, dalam penunjukan PT MDA oleh perusahaan plat merah Kota Bekasi itu dilakukan tanpa regulasi yang ada. Sebab, dalam satu pembangunan tidak dibenarkan APBD dicampuri dengan CSR. Berdasarkan Permendagri No. 22 Tahun 2020 – Pemda hanya fasilitator, bukan penerima atau penyalur CSR.
Jejak Personal dan Jalur Nonformal
Di balik layar, Mulyadi mendapati relasi yang patut dicermati. PT MDA disebut memiliki kedekatan dengan Direktur Utama PT Mitra Patriot, David Rahardja, yang juga memimpin BUMD pengelola Wisata Air Kalimalang.
Keduanya kerap muncul dalam kegiataan keagamaan yang sama. Di atas kertas, hubungan itu bukan pelanggaran. Tapi di dunia birokrasi lokal yang sering kabur batas antara kekerabatan dan kekuasaan, kedekatan personal bisa menjelma menjadi jembatan kepentingan.
Lebih lanjut, pelaksana proyek jembatan baja bergelombang (Corrugated Metal Steel Bridge) adalah PT Mas Baja Indonesia, yang dipimpin oleh Dedi Miing Gumelar, politikus dari Partai Gelora — partai yang secara terbuka mendukung pasangan Tri Adhianto-Harris Bobihoe dalam Pilkada Bekasi 2024, lalu.
Keterlibatan pihak-pihak berafiliasi politik dalam proyek publik berbasis CSR membuat publik kian ragu: benarkah ini proyek sosial, atau justru menebus utang politik.
Hingga kini, belum ada laporan audit terbuka mengenai dana CSR Kalimalang. Tak jelas siapa auditor independennya, berapa dana yang terserap, dan bagaimana mekanisme pertanggungjawabannya.
DPRD Kota Bekasi sejauh ini belum mengumumkan langkah pengawasan khusus.
Air Bersih, Bukan Kolam Wisata
Selain dana, persoalan lain muncul dari sisi lingkungan. Sungai Kalimalang adalah jalur utama distribusi air baku bagi warga Jakarta yang dikelola Perum Jasa Tirta II (PJT II).
Pegiat lingkungan Sony Teguh Trilaksono mengingatkan, “Kalimalang itu sumber air bersih. Kalau dijadikan wisata, potensi pencemaran tinggi. Lebih baik dijaga sebagai ruang hijau atau jalur olahraga.”
Kekhawatiran serupa diungkap Rickayatul Muslimah, Ketua Tim Pariwisata Berkelanjutan dari Kementerian Pariwisata. Ia menilai, Kalimalang memiliki potensi wisata, tetapi butuh koordinasi lintas wilayah dan kontrol ketat terhadap polusi serta akses publik.
Suara dari DPRD
Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kota Bekasi, Wildan Fathurrahman, menilai rencana wisata air ini harus dijalankan hati-hati.
“Kualitas air bisa terganggu oleh aktivitas perahu wisata, tumpahan bahan bakar, atau sampah yang dibuang sembarangan,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya desain jembatan dan dermaga yang sesuai ketentuan sempadan sungai.
“Jangan sampai demi keindahan, fungsi sungai justru terhambat,” katanya.
Wildan menambahkan, pengelolaan sampah dan lalu lintas di kawasan wisata harus direncanakan matang. “Tanpa perencanaan, Kalimalang bisa cantik di brosur, tapi kumuh di lapangan.”
Meski begitu, ia melihat potensi positif: proyek ini dapat membuka ruang publik hijau dan memberdayakan UMKM kuliner serta seni lokal.
“Kita tidak boleh lupa, lebih dari 85 persen pasokan air bersih untuk DKI Jakarta bergantung pada aliran Jatiluhur–Kalimalang,” ujarnya.
Ia menegaskan, proyek wisata ini wajib tunduk pada UU Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, Permen PUPR Nomor 28 Tahun 2015 tentang Garis Sempadan Sungai, dan Perda Kota Bekasi Nomor 1 Tahun 2024 tentang RTRW 2024–2044.
“Artinya, proyek ini tidak bisa dijalankan sekadar dengan semangat membangun ikon, tetapi harus dipagari hukum, dikawal sains, dan diawasi publik,” tegasnya.
Melalui seorang aktivis, Gobekasi mencoba mengonfirmasi Direktur PT Mitra Patriot, David Rahardja, mengenai mekanisme penunjukan PT MDA dan aliran dana CSR. Namun David menolak menjawab.
“Buang waktu nanggapinnya. Orang-orang sirik nggak bisa lihat orang maju,” katanya singkat.
Dari penjelasan Wildan, hal lain yang menjadi perhatian menyangkut pembongkaran jembatan yang tak bisa sembarang dilakukan sebelum ada kepastian pencabutan aset. Apakah langkah ini sudah ditempuh?
Mengembalikan Arti “Tanggung Jawab”
CSR semestinya menjadi jembatan moral antara dunia usaha dan kepentingan sosial. Namun ketika arah dan penggunaannya ditentukan oleh pejabat publik, fungsi sosial itu bergeser menjadi alat legitimasi kekuasaan.
Bekasi seharusnya belajar dari sejarahnya sendiri. Kota ini terlalu sering menjadikan proyek fisik sebagai simbol kemajuan, sementara tata kelolanya dibiarkan longgar. CSR bukan jalan pintas menambal APBD—apalagi sarana menebus utang politik.
Membangun kota seharusnya bukan soal siapa yang memegang cangkul pertama atau memotong pita peresmian, tapi siapa yang berani menegakkan etika publik di tengah euforia pembangunan. Dan itulah yang kini benar-benar diuji di sepanjang tepi Kalimalang — di antara air yang tampak tenang, tapi menyimpan arus kuat di bawahnya.
Ikuti Kami di GOOGLE NEWS
Simak berita seputar Bekasi di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Gobekasi.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VarakafA2pLDBBYbP32t. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.













