Opini  

Duka Cita atas Nasib Relawan Tri Adhianto

Kota Bekasi - Iringin - iringan massa mengantarkan Bacalon Wali Kota dan Wakil wali Kota Tri Adhianto Tjahyono - Abdul Harris Bobihoe saat mendaftar ke KPU Kota Bekasi, Foto: Gobekasi.id
Iringin - iringan massa mengantarkan Bacalon Wali Kota dan Wakil wali Kota Tri Adhianto Tjahyono - Abdul Harris Bobihoe saat mendaftar ke KPU Kota Bekasi, Foto: Gobekasi.id

Di sebuah warung kopi sederhana, di samping hingar bingar KONI Kota Bekasi, tiga orang duduk disebelah saya, tampak sedang ngobrol serius. Mereka juga sama: sambil Ngopi.

Ada hal menarik. Duduk kami dekat. Jadi, detail omongan mereka bisa saya dengar: Pembubaran Relawan. Mereka rupanya salah satu organ relawan Tri Adhianto dalam kontestasi Pilkada 2024 lalu.

Ada sarkasme dan rasa kecewa mendalam dalam obrolan mereka. Ada heran dan ketidak percayaan. Kenapa mereka di bubarkan.

Saya memberanikan diri nimbrung. “Emang bener Bang, relawan dibubarin?”

Satu dari mereka mengangguk cepat. “Iya, Bang. Termasuk kami. 44 organ relawan yang habis-habisan berjuang. Sekarang? Kami dianggap angin lalu.”

Malam yang Dingin dan Sebuah Pengkhianatan

Mereka lantas bercerita tentang malam di Pendopo, samping rumah Walikota Bekasi, Kemang Pratama. Malam itu hujan turun deras. Namun, para relawan datang dengan hati yang penuh harap.

Mereka adalah para pejuang yang telah menghabiskan waktu, tenaga, dan—yang terpenting—uang pribadi untuk mengantar Tri Adhianto memenangkan kontestasi. Mereka datang menantikan pengakuan, atau syukur-syukur apresiasi. Sayangnya, harapan itu jauh panggang dari api.

Alih-alih ucapan terima kasih dan rencana pemberdayaan, Tri Adhianto justru mengeluarkan titah yang mematikan semangat: Relawan dibubarkan. Selanjutnya, mereka akan dilebur ke dalam satu organ induk.

Bayangkan. Setelah setahun berjuang di lapangan, mengorbankan waktu bersama keluarga dan isi dompet, respons yang mereka terima adalah PHK tak terhormat. Mereka pulang bukan hanya tanpa sertifikat atau kompensasi, bahkan tanpa Makan bergizi Gratis. Tiba-tiba saja, 44 organ yang menguatkan basis dukungan menjadi tak relevan.

Pertemuan itu berakhir tanpa keputusan. Sebagian besar menolak dibubarkan, tapi pembubaran terjadi, peleburan tak terjalankan. Relawan pulang dengan tanda tanya besar. Para pejuang, yang telah bekerja keras mengantar Tri Adhianto menang, kini justru dianggap tak ada. Bahkan sekedar ongkos ganti bensin pun tak ada. Sah-sah saja mereka kecewa.

Pola yang Berulang dan Bisikan di Telinga

Agak sulit mencerna langkah ini, kecuali kita melihat ke belakang. Ini bukan kali pertama. Pada 2018, pola yang sama juga terjadi. Setelah menang, relawan dibubarkan dan pintu komunikasi pun ditutup rapat. Maka, motifnya mudah ditebak.

Pertama, Relawan dianggap sudah tidak dibutuhkan. Setelah kuda penarik gerobak mengantarkan tuannya ke tujuan, ia dilepas. Bukankah lebih baik dibubarkan dari awal agar tidak merepotkan di kemudian hari? Peleburan ke dalam satu induk, yang sudah punya struktur lengkap, adalah cara halus untuk memarjinalkan mereka. Apalgi, organ induk ini telah memiliki struktur sampai tingkat kelurahan. Artinya, relawan memang digiring untuk di bubarkan.

Sangat mungkin, Tri adhianto memang hanya memanfaatkan relawan saat dibutuhkan. Dan Tri adhianto hari ini, lebih suka memelihara “herder-herder” yang siap menggonggong keras pada saat tuannya diganggu.

Kedua, Ada aroma “pembisik” di sekitar kekuasaan, yang mendorong pengelolaan relawan harus satu pintu. Mereka mengulang sukses 2018, menari di atas bangkai organ yang dibubarkan, demi keuntungan segelintir orang.

Apapun motifnya, tindakan “menggebiri” dan menghapus jejak perjuangan relawan adalah tindakan yang sangat tidak etis. Ia menghapus setahun pengorbanan, dilakukan oleh seseorang yang sering menggaungkan moralitas dan persahabatan.

Sementara di kubu pihak yang kalah dalam kontestasi kemarin. Relawan mereka tetap di pertahankan. setiap periode tertentu relawan di ajak bertemu, jalinan silaturahmi terus dijaga. Mereka diberikan penghormatan, dihargai dan diposisikan selayaknya sahabat. Sebuah ironi yang menusuk.

Sebuah Pengingat dari Bunda Teresa

Kisah ini mengingatkan saya pada perkataan tokoh besar Bunda Teresa, seorang biarawati india yang sangat perduli terhadap kemanusiaan: “penyakit yang lebih buruk daripada kusta atau penyakit fisik lainnya adalah rasa sakit akibat tidak diinginkan, tidak dicintai, dan tidak diperhatikan.”

Inilah penyakit yang kini diderita para relawan Tri Adhianto. Rasa sakit karena diabaikan setelah memberikan segalanya.

Atas segala pengorbanan yang tak dihargai itu, saya hanya bisa berucap: “Ikut bela sungkawa. Semoga amal baik kalian dibalas oleh Tuhan Yang Maha Esa”

He he he.

Bekasi, 4 Desember 2025

Penulis: Hadi Pranoto

Ikuti Kami di GOOGLE NEWS

Simak berita seputar Bekasi di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Gobekasi.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VarakafA2pLDBBYbP32t. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *