Opini  

Lelang Sunyi Bus Transpatriot dan Krisis Tata Kelola Aset Daerah

Dalam banyak kasus pengelolaan aset daerah, permainan harga limit kerap menjadi titik rawan. Harga yang terlalu rendah tak selalu melanggar aturan, tapi hampir selalu merugikan kepentingan publik.

Kota Bekasi - Bus Transpatriot Kota Bekasi. Foto: Ist
Bus Transpatriot Kota Bekasi. Foto: Ist

Kota Bekasi – Penjualan armada Bus Transpatriot oleh PT Mitra Patriot seharusnya menjadi peristiwa administratif biasa: aset tua dilepas, kewajiban dibayar, lalu layanan publik diperbaiki. Namun cara penjualan itulah yang mengubahnya menjadi perkara publik. Minim pengumuman, kaburnya dokumen, dan sunyinya pengawasan membuat lelang ini lebih menyerupai transaksi tertutup ketimbang kebijakan pengelolaan aset daerah.

Sejak awal, bus Transpatriot merupakan hasil penyertaan modal Pemerintah Kota Bekasi. Pada 2018, pemerintah daerah mengadakan 9 unit bus senilai Rp 5,94 miliar. Setahun kemudian, penyertaan modal kembali dikucurkan melalui pengadaan 20 unit bus senilai Rp 14,17 miliar. Total nilai penyertaan modal berupa bus mencapai Rp 20,11 miliar untuk 29 unit armada.

Kekinian diketahui, Bus Transpatriot hanya tersisa 22 uni. Dengan demikian, 7 unit bus telah dilepas.

Berdasarkan penelusuran, lelang dilakukan dengan nilai limit berkisar Rp 150–258 juta per unit melalui balai lelang swasta-IBID Astra. Armada yang dilepas merupakan bus yang sebelumnya menjadi tulang punggung layanan transportasi massal Kota Bekasi. Namun publik tak pernah benar-benar diberi kesempatan mengetahui mengapa bus itu dijual, bagaimana nilainya ditentukan, dan siapa yang akhirnya membeli.

Informasi yang Tidak Pernah Sampai ke Publik

Dalam prinsip pengelolaan aset publik, transparansi bukan pelengkap, melainkan prasyarat. Pengumuman lelang semestinya dilakukan secara luas, terbuka, dan mudah diakses. Namun dalam kasus Bus Transpatriot, pengumuman nyaris tak terdengar. Tak ada sosialisasi resmi dari Pemerintah Kota Bekasi, juga tak ada upaya dari PT Mitra Patriot untuk menjelaskan kepada warga bahwa aset milik daerah sedang dilepas.

Ketiadaan publikasi ini menciptakan asimetri informasi. Dalam situasi semacam itu, hanya mereka yang “tahu lebih dulu” yang bisa ikut bermain. Pertanyaannya bukan lagi apakah lelang dilakukan sesuai prosedur minimal, melainkan siapa yang diuntungkan oleh senyapnya informasi.

Persetujuan yang Tak Pernah Dijelaskan

Pemindahtanganan aset BUMD tak mungkin terjadi tanpa persetujuan berlapis. Ada manajemen, ada pemilik modal, dan ada otoritas politik daerah. Namun hingga kini, publik belum mendapatkan kejelasan: apakah wali kota memberikan persetujuan eksplisit, apakah DPRD dilibatkan sejak awal, dan siapa pejabat yang menandatangani keputusan akhir.

Dalam demokrasi lokal, pengurangan aset strategis seharusnya menjadi keputusan politik terbuka, bukan urusan teknokratis tertutup. Ketika DPRD tak bersuara dan eksekutif tak menjelaskan, yang muncul bukan kepastian hukum, melainkan kecurigaan publik.

Harga Tanpa Narasi Nilai

Nilai limit lelang menjadi persoalan berikutnya. Tanpa appraisal independen yang dipublikasikan, publik tidak tahu apakah harga bus mencerminkan kondisi riil armada, usia pakai, dan nilai sisa ekonominya. Padahal bus Transpatriot bukan sekadar besi tua. Ia dibeli dengan APBD, dirawat dengan dana publik, dan menjadi bagian dari investasi jangka panjang transportasi kota.

Dalam banyak kasus pengelolaan aset daerah, permainan harga limit kerap menjadi titik rawan. Harga yang terlalu rendah tak selalu melanggar aturan, tapi hampir selalu merugikan kepentingan publik.

Pembeli yang Tak Pernah Dikenalkan

Gobekasi.id mencatat bahwa identitas pemenang lelang tak pernah diumumkan secara terbuka. Publik tak tahu apakah bus dibeli oleh operator transportasi aktif, oleh perusahaan logistik, atau oleh perantara yang kemudian menjual kembali dengan harga lebih tinggi.

Ketertutupan ini menutup satu hal penting: pengujian konflik kepentingan. Tanpa nama, tanpa latar belakang pembeli, dan tanpa risalah lelang yang mudah diakses, klaim bahwa lelang berlangsung kompetitif menjadi sulit diverifikasi.

Untung Cepat, Rugi Panjang

Manfaat jangka pendek dari lelang ini jelas. PT Mitra Patriot dapat membayar kewajiban lama, termasuk kepada PT DAMRI. Manajemen memperoleh ruang bernapas secara finansial. Namun keuntungan itu datang dengan harga mahal: berkurangnya armada transportasi publik dan menyusutnya aset daerah.

Bagi warga Kota Bekasi, hasil akhirnya justru kontradiktif. Layanan transportasi tak bertambah, konektivitas tak membaik, dan janji penguatan angkutan umum kembali tertunda. Aset hilang, manfaat tak kunjung datang.

Diam yang Bermakna Politik

Yang paling mencolok dari kasus ini justru adalah keheningan para pengawas. DPRD Kota Bekasi belum menunjukkan sikap tegas. Inspektorat belum mengumumkan audit terbuka. Badan Pengawas BUMD nyaris tak terdengar.

Dalam tata kelola pemerintahan, diam bukanlah sikap netral. Ia bisa berarti pembiaran, ketidaktahuan, atau persetujuan diam-diam. Apa pun maknanya, semuanya merugikan publik.

Ujian Tata Kelola Aset

Lelang Bus Transpatriot bukan sekadar soal bus. Ia adalah cermin bagaimana aset daerah diperlakukan: apakah sebagai milik bersama yang harus dipertanggungjawabkan, atau sebagai beban yang boleh dilepas secara senyap demi menutup lubang lama.

Pertanyaan terpenting bukan lagi apakah lelang itu sah secara administratif, melainkan apakah ia adil, terbuka, dan berpihak pada kepentingan publik. Selama dokumen disimpan, nama disembunyikan, dan pengawasan bungkam, publik berhak curiga.

Dalam urusan aset publik, ketertutupan selalu menjadi awal dari masalah. Dan Kota Bekasi kini sedang diuji—bukan oleh bus yang dijual, melainkan oleh cara kekuasaan memilih diam.

Ikuti Kami di GOOGLE NEWS

Simak berita seputar Bekasi di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Gobekasi.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VarakafA2pLDBBYbP32t. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Penulis: Mochamad Yacub Ardiansyah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *