Bekasi  

Pendampingan Kejaksaan untuk Program RW Rp100 Juta Dituding Keliru

Kota Bekasi - Ilustrasi pemberian intensif RT/RW oleh Pemerintah Kota Bekasi.
Ilustrasi pemberian intensif RT/RW oleh Pemerintah Kota Bekasi.

Kota Bekasi – Guna mencegah penyelewengan, Wali Kota Bekasi Tri Adhianto berencana melakukan pendampingan Kejaksaan Negeri (Kejari) pada proses pencairan dana program RW Rp100 juta.

Kebijakan ini menuai kritik dari Ketua Umum Forum Komunikasi Intelektual Muda Indonesia (Forkim), Mulyadi. Ia menilai langkah tersebut mencerminkan cara pandang yang keliru terhadap konsep partisipasi warga dalam pembangunan.

“Kebijakan ini seolah menempatkan para pengurus RW sebagai pihak yang rawan melakukan tindak korupsi dan harus diawasi secara represif. Ini bukan bentuk pengawasan, melainkan ekspresi ketidakpercayaan Tri Adhianto terhadap masyarakatnya sendiri,” tegas Mulyadi, Selasa (7/10/2025) malam.

Alih-alih memperkuat peran warga, pendampingan hukum semacam intervensi oleh aparat penegak hukum justru mengaburkan esensi sejati program pemberdayaan masyarakat dan berpotensi menanamkan rasa takut.

Ketimbang sosialisasi pendampingan–Mul mengusulkan–Wali Kota Bekasi menjadikan program ini tak bersifat bantuan semata, tetapi juga menjadi sarana pendidikan bagi warga—melalui pelatihan manajemen keuangan dan tata kelola anggaran yang transparan yang dilakukan pemerintah.

“Pendampingan berbasis edukasi akan memperkuat kemandirian warga melalui pelaksanaan bimbingan tekhnis. Bukan membuat mereka cemas karena diawasi lembaga hukum,” usulnya.

Mulyadi menilai kebijakan tersebut menunjukkan bahwa Tri Adhianto belum memahami esensi pembangunan partisipatif, sehingga melahirkan ketimpangan logika pengawasan anggaran di Kota Bekasi.

Bila kebijakan tetap dipaksakan, Pola ini menurut Mul wajib juga diterapkan kepada penerima anggaran yang lebih besar seperti KONI, KORMI, PDAM dan PD Migas.

“Mengapa pola semacam ini tidak diterapkan pada anggaran yang jauh lebih besar dan berisiko, dana hibah KONI, KORMI, penyertaan modal kepada PDAM dan PD Migas dan BUMD lain?” ujarnya.

Kuat dugaaan, kebijakan pendampingan dana RW oleh Kejari bukan lahir dari semangat akuntabilitas publik, melainkan alat pencitraan politik untuk memoles citra Tri Adhianto di tengah sorotan publik atas dugaan penyimpangan dana hibah dan anggaran daerah yang belum tuntas.

Jika Tri Adhianto benar-benar berkomitmen pada pemerintahan bersih, hal dibutuhkan–tambal Mul–bukan menggandeng lembaga hukum, tetapi keberanian melakukan transparansi anggaran secara transparan tanpa tebang pilih.

Pemuda asal Banten tersebut malah menyebut kebijakan dimaksud menunjukkan gaya klasik birokrasi tetap tumpul ke atas, tajam ke bawah.

“Anggaran kecil di tingkat RW dikawal aparat hukum, sementara anggaran besar seperti, KONI, KORMI, PDAM, PD Migas dan BUMD lain luput dari pengawasan terbuka. Ini paradoks moral dalam tata kelola pemerintahan,” ujarnya.

Tak berhenti di situ, Mulyadi juga menyoroti kabar mengenai dugaan adanya ‘setoran minyak jelantah’ sebagai salah satu syarat pencairan dana program RW 100 juta.

“Bagaimana mungkin dana pembangunan warga yang bersumber dari uang rakyat dikaitkan dengan setoran minyak bekas? Ini bukan inovasi, melainkan bentuk kekacauan berpikir dan kebijakan,” tegasnya.

Ia menilai praktik semacam itu menegaskan bahwa pemerintah menjalankan program tanpa konsep, tanpa arah, dan tanpa nalar kebijakan yang matang.

Ikuti Kami di GOOGLE NEWS

Simak berita seputar Bekasi di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Gobekasi.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VarakafA2pLDBBYbP32t. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *