Bekasi  

Wisata Air Kalimalang: Optimisme di Atas Sungai, Risiko di Pundak UMKM

Kota Bekasi - Pedestrian-Wisata Air Kalimalang yang akan diisi dengan cargo kuliner. Foto: Ist
Pedestrian-Wisata Air Kalimalang yang akan diisi dengan cargo kuliner. Foto: Ist

Kota Bekasi – Deretan jembatan dan lampu-lampu baru di atas aliran Sungai Kalimalang seolah menyatakan satu ambisi: Kota Bekasi ingin punya ikon wisata baru. Dalam seremoni penandatanganan kerja sama, Wali Kota Bekasi Tri Adhianto bahkan memimpikan kawasan itu kelak tak kalah dari destinasi luar negeri.

Namun jauh dari panggung seremoni, muncul serentetan pertanyaan yang mengusik—terutama soal hitungan ekonomi yang mendasari proyek Wisata Air Kalimalang. Dalam dokumen proposal, janji pengunjung, proyeksi belanja, hingga skema bisnis antara BUMD dan pihak swasta terlihat jauh lebih optimistis dibanding kondisi riil di lapangan.

Baca Juga: Proyek Ambisius Wisata Air Kalimalang di Tengah Arus Gelap CSR

Proposal dan Angka yang Menggantung

Ketua Forum Komunikasi Intelektual Muda Indonesia (Forkim), Mulyadi, mengungkap dokumen pemasaran dari TIRTA Kalimalang, unit usaha bentukan PT Miju Dharma Angkasa (MDA)—perusahaan swasta pemenang tender BUMD PT Mitra Patriot dalam pengelolaan wisata itu.

Dalam proposal, TIRTA Kalimalang memproyeksikan 4.000–5.000 pengunjung per hari, dengan asumsi setiap pengunjung belanja rata-rata Rp35 ribu. Dari angka itu, mereka menyimpulkan peluang pasar yang dianggap cukup untuk menarik pelaku UMKM.

Baca Juga: Omon-Omon Target PAD Wisata Air Kalimalang

Baca Juga: Wisata Air Kalimalang: Miniatur Whoosh dan Risiko yang Mengintai APBD

Baca Juga: Meluruskan Polemik Kalimalang, Wali Kota Bekasi Bilang Begini Soal Wisata Air…

“Hitungan ini tidak rasional. Mereka menghitung potensi berdasarkan data lalu lintas dan pengunjung mal,” kata Mulyadi, Kamis (11/12/2025) kepada Gobekasi.id.

Ia menyoroti penggunaan audience insight yang bersumber dari Mall Metropolitan dan kepadatan lalu lintas Jalan KH Noer Ali–Rawapanjang, bukan dari karakteristik pengunjung wisata air.

“Kalimalang itu jalur truk. Lalu lintas padat bukan indikator keramaian wisata,” katanya, menegaskan.

Sewa Selangit di Pinggir Sungai

Di atas asumsi pengunjung jumbo itu, PT MDA menawarkan 87 kontainer kuliner bagi UMKM dengan harga sewa Rp100 juta per tahun, belum termasuk PPN, plus IPL Rp300 ribu per bulan.

“UMKM diposisikan sebagai penyokong PAD. Tapi biaya sewanya setara tarif di mal,” ujar Mulyadi.

Disisi lain, Mulyadi menduga terdapat skema yang menguntungkan PT MDA dan PT Mitra Patriot, dengan memanfaatkan Dinas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah (Diskop UKM) Kota Bekasi sebagai “penyangga” pembiayaan.

Baca Juga: Jejak Tiga Peran Satu Perusahaan: Dugaan Pengaturan Pengelola Wisata Air Kalimalang

Baca Juga: Jejak Perizinan Samar di Wisata Air Kalimalang

Menurut Mulyadi, UMKM yang tertarik menyewa namun tidak sanggup membayar dipersilakan mengambil pinjaman koperasi binaan Diskop UKM Kota Bekasi.

“Skemanya seperti mendorong orang masuk ke usaha berisiko tinggi dengan hutang,” ungkapnya.

Mulyadi khawatir angka-angka manis dalam proposal akan menjadi bumerang. Jika wisata tidak ramai, yang menanggung kerugian bukan BUMD, melainkan UMKM yang sudah telanjur berutang.

BUMD “Berjudi” di Bantaran Kalimalang

PT Mitra Patriot—BUMD Kota Bekasi—menggandeng PT Miju Dharma Angkasa, perusahaan yang rekam jejaknya lebih dikenal lewat kedai coofee dan nasi bakar, bukan pembangunan infrastruktur wisata.

Model bisnis keduanya menumpukan keuntungan pada sewa tenant dan operasional kapal wisata. Dari dokumen yang dibuka Mulyadi, potensi pemasukan setahun dihitung dari sewa 87 kontainer mencapai Rp8,7 miliar, IPL Rp313 juta dan tiket kapal wisata Rp600 juta.

Baca Juga: Wisata Air Kalimalang: Rekreasi Berbalut Risiko Hukum

Baca Juga: Wisata Air Kalimalang: Bisnis Kerdil di Atas Nadi Jutaan Manusia

Baca Juga: Kontroversi Wisata Air Bekasi: Ketika Aturan Tak Lagi Jadi Acuan

Total Rp9,6 miliar per tahun—angka kotor tanpa memperhitungkan biaya operasional, perawatan sungai, pegawai, keamanan, promosi, hingga risiko tenant gulung tikar.

Padahal target resmi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari proyek ini hanya Rp3 miliar. Mulyadi menduga angka rendah itu sengaja dipasang agar terlihat realistis, sementara beban operasional justru dibebankan pada UMKM.

“Siapa yang sebenarnya diuntungkan? Dan siapa yang siap menjadi korban jika ekspektasi tak menyentuh realitas?” ucapnya.

Jejak Kuburan Proyek Wisata

Kekhawatiran bukan tanpa dasar. Bekasi punya rekam jejak pahit, diantaranya Wisata Kuliner di Jalan Ahmad Yani — kini kumuh, tenant pergi satu per satu. Proyek waterfront yang tinggal konsep, meredup tanpa pernah jadi pengalaman dan Wisata Air Hutan Bambu. Semua punya pola sama: dibangun ramai–ramai, dibiarkan sunyi–sunyi.

“Bekasi bukan kota wisata secara alami. Kalau mau menciptakan destinasi, perlu ekosistem: akses mudah, ruang pedestrian yang nyaman, keamanan, dan kegiatan berkelanjutan. Bukan hanya kontainer dan lampu LED,” kata Mulyadi.

Baca Juga: Forkim Dorong Dirjen Pajak Audit PT Miju Dharma Angkasa, APH Diminta Awasi Proyek Wisata Air Kalimalang

Wali Kota Bekasi menegaskan Wisata Air Kalimalang adalah ruang publik gratis. Tidak ada tiket masuk, tidak ada biaya parkir. Tetapi bisnis di dalamnya bertumpu pada sewa mahal tenant dan kapal wisata berbayar.

Paradoks ini menciptakan dilema: ruang publik gratis, tapi keberlanjutan destinasi bergantung pada UMKM yang harus membayar mahal untuk berada di dalamnya.

“UMKM tidak dilibatkan sejak tahap perencanaan. Mereka hanya dijadikan sumber pendapatan,” kata Mulyadi.

Ikuti Kami di GOOGLE NEWS

Simak berita seputar Bekasi di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Gobekasi.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VarakafA2pLDBBYbP32t. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.