Kota Bekasi – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bekasi resmi menyepakati Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2026, dalam rapat paripurna yang digelar Kamis (30/10/2025).
Total pendapatan daerah ditetapkan sebesar Rp6,748 triliun, sementara belanja daerah mencapai Rp6,921 triliun. Dengan demikian, Kota Bekasi akan menghadapi defisit sekitar Rp173 miliar yang akan ditutup melalui pembiayaan daerah.
Anggota Badan Anggaran DPRD, Ahmadi Madonk, menyampaikan laporan hasil pembahasan KUA-PPAS di hadapan sidang paripurna. Menurutnya, pendapatan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar Rp4,130 triliun dan pendapatan transfer Rp2,617 triliun.
Sementara itu, alokasi belanja daerah dibagi menjadi tiga pos utama: belanja operasional sebesar Rp5,889 triliun, belanja modal Rp1,031 triliun, dan belanja tak terduga Rp29 miliar.
“Penerimaan pembiayaan bersumber dari Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) tahun 2025 sebesar Rp200 miliar, dengan pengeluaran pembiayaan Rp27 miliar. Sehingga pembiayaan neto tercatat Rp173 miliar,” ujar Ahmadi dalam rapat tersebut.
Dana pembiayaan daerah akan dialokasikan untuk penyertaan modal kepada tiga Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Perumda Air Minum Tirta Patriot memperoleh Rp10 miliar untuk pengembangan jaringan perpipaan di SPAM Jatiluhur I. PT Bank Syariah Patriot mendapatkan Rp10 miliar untuk investasi jaringan kantor dan pembiayaan UMKM, sementara PT Mitra Patriot mendapat Rp7 miliar untuk pengembangan bisnis.
Namun, di balik angka-angka itu, DPRD memberikan sejumlah catatan keras. Pertama, pemerintah daerah diminta lebih serius menggarap potensi pendapatan asli daerah melalui digitalisasi pajak dan retribusi.
“Pemerintah Kota Bekasi harus membangun sistem digital pajak dan retribusi berbentuk dashboard yang terintegrasi untuk monitoring pendapatan secara real time,” kata Ahmadi.
Kedua, belanja pegawai yang mencapai 42 persen dinilai terlalu besar. DPRD meminta Pemkot melakukan inovasi agar porsi tersebut turun hingga 30 persen. Ketiga, kepala BUMD harus memperkuat rencana bisnis dan fokus pada core business agar penyertaan modal tak sekadar menjadi beban daerah.
Catatan lain menyangkut persoalan klasik: kekurangan guru dan fasilitas pendidikan dasar. DPRD menyoroti kebutuhan tenaga pendidik dan 39 ribu unit sarana prasarana seperti meja, kursi, dan lemari di sekolah dasar dan menengah.
“Belanja modal pengadaan tanah juga harus clear and clean dari masalah hukum,” tambah Ahmadi, menyinggung kasus lama seperti Pasar Semi Pondok Gede yang hingga kini belum tuntas.
Rapat paripurna berlangsung tanpa perdebatan sengit. Semua fraksi menyetujui rancangan yang disusun bersama eksekutif. Dengan kesepakatan itu, Pemkot Bekasi akan melanjutkan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) APBD 2026, yang ditargetkan disahkan pada November 2025.
Analis Gobekasi: Ritual Anggaran yang Berulang
KUA-PPAS adalah cermin awal arah kebijakan daerah. Di atas kertas, angka-angka tampak rapi, target pendapatan optimistis, dan pembiayaan terlihat aman. Namun, di lapangan, struktur APBD Bekasi masih menunjukkan pola lama: birokrasi yang gemuk, pelayanan publik yang kurus.
Lebih dari 40 persen belanja daerah masih terserap untuk gaji dan tunjangan pegawai. Rasio itu bukan hanya menekan ruang fiskal, tapi juga menandakan betapa lambatnya reformasi belanja publik. Di tengah kebutuhan infrastruktur dasar, perbaikan sekolah, dan layanan air bersih, sebagian besar uang daerah justru kembali ke meja aparatur.
Digitalisasi pajak dan retribusi, yang berulang kali dijanjikan, belum berwujud nyata. Tanpa sistem yang transparan dan terintegrasi, target PAD Rp4,1 triliun berisiko menjadi ilusi fiskal tahunan.
DPRD tampak kritis dalam rapat, namun kritik mereka sering berhenti di notulen, bukan di kebijakan. Paripurna berjalan cepat, tanda bahwa proses politik lebih didorong oleh kesepakatan administratif ketimbang perdebatan substantif.
Bekasi membutuhkan keberanian untuk keluar dari rutinitas anggaran. Defisit Rp173 miliar bukan ancaman, tapi peringatan bahwa pengelolaan fiskal perlu disiplin baru: anggaran yang bekerja untuk warga, bukan hanya menghidupi birokrasi.
Kalimat Ahmadi Madonk di rapat paripurna terdengar visioner: digitalisasi, efisiensi, dan akuntabilitas. Tapi seperti halnya setiap tahun, pertanyaan utamanya masih sama — apakah kata-kata itu akan berubah menjadi tindakan?
Ikuti Kami di GOOGLE NEWS
Simak berita seputar Bekasi di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Gobekasi.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VarakafA2pLDBBYbP32t. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.













