Kota Bekasi – Di tengah sorotan publik pada ambisi besar pembangunan infrastruktur nasional, terutama setelah Kereta Cepat Whoosh menyisakan pekerjaan rumah fiskal, pembangunan Wisata Air Kalimalang justru bergerak dengan ritme berbeda: lebih senyap, lebih lokal, namun tidak kalah agresif dalam serapan modal.
Dengan nilai investasi yang mendekati Rp126 miliar, proyek ini memunculkan pertanyaan mengenai urgensi, kelayakan, serta kemampuan pengelola untuk memastikan manfaat publik yang sepadan dengan biaya.
Lanskap Baru di Kanal Lama
Kalimalang, kanal yang menjadi tulang punggung pasokan air Jakarta, sejak lama dibayangkan sebagai ruang publik. Pada era Gubernur Ridwan Kamil, sebagian jalurnya disiapkan menjadi kawasan pedestrian modern. Namun bertahun-tahun kemudian, malah terbengkalai.
Baca Juga: Revitalisasi Kalimalang Menuju Wisata Air, Kemenpar Soroti Potensi dan Tantangan
Kini, Pemerintah Kota Bekasi kembali mencoba menghidupkan gagasan itu. PT Mitra Patriot (PTMP), BUMD milik Pemkot, ditugasi membangun kawasan wisata air lengkap dengan jembatan besar, dermaga, kontainer kuliner, dan wahana air. Targetnya rampung 2026.
Dalam dokumen Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) 2025 yang diperoleh, nilai investasi pembangunan tahun 2025 mencapai Rp48,1 miliar.
Rinciannya meliputi jembatan besar Rp9,51 miliar, jembatan penyeberangan Rp2,33 miliar, wahana wisata air dan kontainer kuliner Rp21,33 miliar, pembongkaran jembatan lama Rp1,61 miliar, serta dermaga dan gapura Rp1,34 miliar. Pengembangan lima tahunan dipatok Rp12 miliar.
Investasi APBD pun tak kecil. Pemkot Bekasi mengalokasikan Rp30 miliar, sementara Pemprov Jawa Barat bakal menyuntikkan Rp60 miliar di tahun anggaran 2026. Bahkan sektor swasta ikut menyodok lewat skema CSR—PT Miju Dharma Angkasa, pengelola kedai kopi yang tengah ekspansif, menambah Rp36 miliar untuk mendorong kawasan tersebut menjadi etalase wisata baru.
Totalnya mendekati angka yang untuk ukuran kota menengah tergolong besar, terutama bila melihat pola pemanfaatan Kalimalang selama ini.
Baca Juga: Bekasi Bakal Realisasikan Wisata Air Kalimalang, 13 Jembatan Bekasi Dibongkar
Ketua Forum Komunikasi Intelektual Muda Indonesia (Forkim), Mulyadi melihat pola proyek ini mirip dengan Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh. Proyek kereta cepat itu semula diklaim sebagai murni kerja sama B2B tanpa APBN. Namun pembengkakan biaya membuat pemerintah turun tangan dengan penyertaan modal dan pinjaman tambahan.
Dalam konteks Kalimalang, kekhawatiran serupa muncul: bila pendapatan tidak mencapai target, PTMP akan membutuhkan tambahan modal daerah untuk menjaga cash flow dan membiayai pemeliharaan aset.
“Risiko fiskal seperti ini sudah pernah terjadi dalam beberapa proyek BUMD daerah. Ketika pendapatan meleset, pemerintah harus kembali menutup kerugian,” kata Mulyadi, Selasa (18/11/2025).
Belum Ada Keterbukaan Dokumen
Hingga laporan ini disusun, PT Mitra Patriot belum membuka studi kelayakan, proyeksi arus kas rinci, analisis risiko, maupun kajian dampak sosial proyek kepada publik. Padahal dokumen-dokumen tersebut menjadi standar minimal terutama untuk proyek yang mengandalkan dana publik.
Baca Juga: Ancaman di Balik Wisata Air Kalimalang: Sampah, Polusi, dan Air Tercemar
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kota Bekasi juga belum memberikan penjelasan detail terkait kesesuaian proyek dengan dokumen Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPARDA) serta dampak jangka panjang terhadap anggaran kota.
Menghindari Pola Proyek Mangkrak
Indonesia memiliki daftar panjang proyek wisata yang dibangun dengan semangat tinggi namun berakhir tidak optimal. Beberapa kawasan mengalami masalah serupa: perencanaan tergesa, pendapatan meleset, BUMD merugi, dan aset terbengkalai.
Penelitian Mulyadi, menunjukkan bahwa proyek wisata berbasis ruang publik yang tidak didukung model bisnis di Indonesia jelas cenderung menjadi beban fiskal dalam lima tahun pertama.
Dalam konteks Kalimalang, tantangannya justru lebih berat karena kawasan itu merupakan ruang terbuka yang sudah lama dikenal publik sebagai area bebas biaya.
Menentukan Arah Kebijakan
Proyek wisata air Kalimalang masih berjalan. Jembatan besar sedang dibangun oleh PT Mas Baja Indonesia, dan kontainer kuliner mulai disiapkan. Di lapangan, pekerjaan tampak berprogres. Namun di balik geliat ini, perdebatan mengenai arah kebijakan semakin menguat.
Baca Juga: Kalimalang: Dari Impian Cheonggyecheon Era RK ke Wisata Air ala KDM, Realisasi atau Wacana Lagi?
Pertanyaan yang mengemuka bukan lagi sebatas “kapan selesai”, tetapi “untuk apa proyek ini dibangun” dan “siapa yang akan merasakan manfaat terbesar”.
Tanpa landasan perhitungan yang kuat, risiko bahwa proyek ini akan menjadi beban jangka panjang—baik melalui penyertaan modal berulang maupun biaya pemeliharaan—tetap terbuka.
Sementara itu, warga menunggu apakah Kalimalang akan benar-benar menjadi ruang publik yang hidup dan inklusif, atau justru menjadi contoh baru bagaimana ambisi pembangunan melampaui kapasitas perencanaan.
Pendapatan yang Tidak Seimbang
Sebelumnya, Mulyadi menyoroti permasalahan utama yang muncul ketika anggaran yang begitu besar disejajarkan dengan proyeksi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dalam dokumen internal PTMP, wisata air ini diproyeksikan menyumbang Rp2–3 miliar per tahun ke kas daerah.
Baca Juga: DPRD Bekasi Ingatkan Pemkot Soal Risiko Wisata Air Kalimalang
Namun ketika dihitung angka tersebut dianggap jauh dari realistis.
Ia menyatakan bahwa struktur pendapatan yang diperkirakan PTMP terlihat rapuh. Dengan asumsi sangat optimistis—100 pengunjung per hari dengan tiket Rp10 ribu—pendapatan per tahun tidak lebih dari Rp365 juta.
Pendapatan parkir motor diperkirakan serupa. Sementara kontribusi UMKM, bila diasumsikan 20 kios semi permanen dengan sewa Rp10 juta per tahun, hanya mencapai Rp200 juta. Penyelenggaraan event tahunan ditarget menghasilkan Rp200 juta.
Jika dijumlahkan, pendapatan kotor hanya mencapai Rp1,13 miliar. Setelah dikurangi ongkos operasional, pemeliharaan fasilitas, keamanan, listrik, dan perawatan jembatan, nilai bersihnya diperkirakan tinggal Rp400–600 juta.
Baca Juga: Proyek Ambisius Wisata Air Kalimalang di Tengah Arus Gelap CSR
“Selisihnya sangat jauh dari target PAD Rp2–3 miliar,” ujar Mulyadi.
Ruang Publik atau Sumber PAD?
Ia menilai bahwa problem paling dasar terletak pada rancangan fungsi. Secara karakter, Kalimalang adalah ruang publik memanjang—lebih mirip taman daripada objek wisata komersial. Upaya memaksanya menjadi sumber pendapatan dinilai berisiko mengubah sifat dasarnya.
Baca Juga: Omon-Omon Target PAD Wisata Air Kalimalang
Menurut Mulyadi, ruang publik idealnya dibiayai negara, bukan diperas melalui tiket masuk dan sewa kios. “Kalimalang sejak dulu adalah ruang transit, ruang interaksi, bukan arena transaksi,” ujarnya.
Kondisi fisik Kalimalang yang terbuka, panjang, dan terfragmentasi juga membuatnya sulit diperlakukan seperti kawasan wisata terpagar dengan aktivitas komersial yang intensif.
Ikuti Kami di GOOGLE NEWS
Simak berita seputar Bekasi di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Gobekasi.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VarakafA2pLDBBYbP32t. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.













