Ketika Indonesia Dihormati Dunia

Ilustrasi Pemilu
Ilustrasi Pemilu

Orang baik, jangan lupakan sejarah.

Barangkali ini hanya semacam kerinduan dari generasi yang tak pernah melihat langsung rasanya mendapat penghargaan dunia atas proses demokrasi di negara yang sampai abad 21 ini masih saja masuk kategori negara berkembang. Mungkin ini hanya upaya patah-patah untuk belajar mengunyah ajaran “jangan pernah lupakan sejarah” dari Bapak Pendiri Bangsa, Soekarno.

Bisa jadi pula, menyitir ungkapan yang sering kali dilontarkan Rektor Universitas Paramadina yang kini menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, sekadar harapan masih ada orang-orang baik yang tolong-menolong untuk mewujudkan kebaikan dan memunculkan orang-orang baik sebagai pemimpin. Atau mungkin dalam bahasa saya, sekadar menghibur hati sendiri, selama masih ada orang-orang baik yang konsisten berbuat baik maka harapan baik akan selalu ada.

Ini adalah larik-larik puisi tersebut:

Ketika Indonesia Dihormati Dunia
-Taufiq Ismail-

Dengan rasa rindu kukenang pemilihan umum setengah abad yang lewat
Dengan rasa kangen pemilihan umum pertama itu kucatat
Peristiwa itu berlangsung tepatnya di tahun lima puluh lima
Ketika itu sebagai bangsa kita baru sepuluh tahun merdeka
Itulah pemilihan umum yang paling indah dalam sejarah bangsa
Pemilihan umum pertama, yang sangat bersih dalam sejarah kita

Waktu itu tak dikenal singkatan jurdil, istilah jujur dan adil
Jujur dan adil tak diucapkan, jujur dan adil cuma dilaksanakan
Waktu itu tak dikenal istilah pesta demokrasi
Pesta demokrasi tak dilisankan, pesta demokrasi cuma dilangsungkan
Pesta yang bermakna kegembiraan bersama
Demokrasi yang berarti menghargai pendapat berbeda

Pada waktu itu tak ada huru-hara yang menegangkan
Pada waktu itu tidak ada setetes pun darah ditumpahkan
Pada waktu itu tidak ada satu nyawa melayang
Pada waktu itu tidak sebuah mobil pun digulingkan lalu dibakar
Pada waktu itu tidak sebuah pun bangunan disulut api berkobar
Pada waktu itu tidak ada suap-menyuap, tak terdengar sogok-sogokan
Pada waktu itu dalam penghitungan suara, tak ada kecurangan

Itulah masa, ketika Indonesia dihormati dunia
Sebagai pribadi, wajah kita simpatik berhias senyuman
Sebagai bangsa, kita dikenal santun dan sopan
Sebagai massa kita jauh dari kebringasan, jauh dari keganasan

Tapi enam belas tahun kemudian, dalam 7 pemilu berturutan
Untuk sejumlah kursi, 50 kali 50 sentimeter persegi dalam ukuran
Rakyat dihasut untuk berteriak, bendera partai mereka kibarkan
Rasa bersaing yang sehat berubah jadi rasa dendam dikobarkan
Kemudian diacungkan tinju, naiklah darah, lalu berkelahi dan berbunuhan
Anak bangsa tewas ratusan, mobil dan bangunan dibakar puluhan

Anak bangsa muda-muda usia, satu-satu ketemu di jalan, mereka sopan-sopan
Tapi bila mereka sudah puluhan apalagi ratusan di lapangan
Pawai keliling kota, berdiri di atap kendaraan, melanggar semua aturan
Di kepala terikat bandana, kaus oblong disablon, di tangan bendera berkibaran
Meneriak-neriakkan tanda seru dalam sepuluh kalimat semboyan dan slogan
Berubah mereka jadi beringas dan siap mengamuk, melakukan kekerasan
Batu berlayangan, api disulutkan, pentungan diayunkan

Dalam huru-hara yang malahan mungkin, pesanan
Antara rasa rindu dan malu puisi ini kutuliskan
Rindu pada pemilu yang bersih dan indah, pernah kurasakan
Malu pada diri sendiri, tak mampu merubah perilaku Bangsaku.

Adakah kerinduan yang sama itu ada di dada Anda? Semoga….

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *