Menelisik Penolakan Pembangunan Pura di Kabupaten Bekasi

  • Bagikan

Rencana pembangunan pura di Desa Sukahurip, Kabupaten Bekasi, ditolak sekelompok orang dengan tudingan jumlah penganut Hindu di kampung itu sangat minim.

Seorang warga, Dede (37) justru mengatakan, penolakan itu bermula ketika warga mendengar adanya rencana anak dari almarhum Uko yang hendak mendirikan pura di tanah miliknya. Uko merupakan warga asal Bali yang sudah lama tinggal di lokasi tersebut.

“Awalnya dari keluarga almarhum Uko. Jadi dia ingin membangun Pura. Bikin lah mereka izin ke desa ke Pemda, termasuk sama ulama dan tokoh masyarakat. Sebagian pro sebagian kontra,” ujar Dede belum lama ini.

Lokasi rencana pendirian pura berada di lahan seluas sekitar 25 hektare milik Uko yang terletak di Jalan Sukamanah, Desa Sukahurip, Kecamatan Sukatani, Kabupaten Bekasi.

Menurut Dede, yang menolak adalah sebagian warga Desa Sukahurip dan Desa Banjarsari. Mendengar rencana itu, warga kemudian membuat baliho yang berisi penolakan. Baliho itu terpasang sejak Minggu (5/5/2019) sore lalu.

“(Alasan pemasangan baliho) perbedaan agama. Mayoritas sih muslim,” ujar Dede.

Sementara warga lainnya yang juga pegawai Uko, Sandim (65) mengetahui rencana pembangunan pura tersebut. Namun, Sandim mengaku tidak mengetahui apa permasalahannya sehingga warga menolak rencana pembangunan pura tersebut.

“Permasalahnnya (penolakan) juga nggak tahu, izin (mendirikan Pura) sih belum ada. Itu kan tanahnya kan tanah dia. Berhubung udah ikut dia 20 tahun ya sudah tahu ini tanah punya dia 25 hektar,” ujar Sandim.

Sandim mengaku tidak mengetahui apa yang menjadi keberatan warga. Tetapi rumor yang berkembang, salah satunya karena rencana pembangunan pura itu disebut-sebut akan didirikan di lahan makam leluhur Desa Sukahurip: Syeikh Komarudin.

Tetapi, Sandim memastikan lahan makam Seyikh Komarudin tidak akan terganggu dengan pembangunan pura tersebut. Bahkan menurutnya, pihak keluarga almarhum Uko akan memperbaiki lahan tersebut.

“Nggak ngambil lahan pemakaman, bahkan itu (makam) mau dibagusin itu. Warga sini menolak karena takutnya kemungkinan dipengaruhi atau apa lah,” ujar Sandim.

Pembangunan Pura Dituding Belum Penuhi Syarat

Salah seorang pimpinan demo yang menyebut dirinya sebagai Haji Akbar Kamal, menuding rencana pembangunan pura itu mengada-ada.

Ia mengatakan hanya terdapat satu penganut Hindu di desa tempat pura akan didirikan.

“Sarana ibadah harus ada jemaah, minimal 90 orang. Kan di sini cuma ada satu, jadi terkesan dipaksakan, membangun rumah ibadah yang cakupannya satu kabupaten,” kata Akbar, Rabu (8/5/2019).

Akbar mengutip syarat yang tertuang dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006.

Beleid itu mengharuskan pembangunan rumah ibadah disertai daftar nama 90 umat yang bakal menggunakan peribadatan. Ada juga kewajiban meraih dukungan dari 60 warga lokal.

“Kalau mereka mencukupi syarat dan transparan dengan masyarakat setempat, mungkin alasan mereka bisa kami terima,” kata Akbar

Umat Hindu Klaim Telah Penuhi Syarat

Namun beragam tudingan itu disanggah. Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) mengklaim telah memenuhi seluruh persyaratan, termasuk dukungan dari warga lokal.

I Made Pande Cakra, pengurus PHDI wilayah Bekasi, justru menyebut kelompok penolak pendirian pura bukanlah warga yang tinggal di permukiman setempat.

“Semua syarat sudah terpenuhi, FKUB tinggal memverifikasi dukungan 60 orang. Kalau itu sudah selesai, rekomendasi akan keluar, lalu diajukan izin ke bupati,” kata Pande via telepon.

“Yang demo kemarin bukan warga kabupaten, tapi dari kota Bekasi. Orang yang tidak tahu-menahu bilang warga desa tidak mendukung, padahal mendukung sekali,” ucapnya.

Sejumlah warga Sukahurip meradang saat ditanyai rencana pembangunan pura di kampung mereka, meski sebagian menganggap tak ada persoalan yang perlu didebatkan.

Lahan yang disiapkan komunitas Hindu di Bekasi menjadi pura berada di Desa Sukahurip, sekitar 30 kilometer dari kompleks pemerintahan kabupaten.

Lokasi ini berjarak setidaknya 19 kilometer dari Cikarang, salah satu permukiman dan wilayah perekonomian di Kabupaten Bekasi.

Lahan itu, kata Pande Cakra, dihibahkan tokoh Hindu setempat yang telah wafat, Anak Agung Oka Darmawan.

Kelompok penentang mempertanyakan niat pembangunan pura di daerah yang menurut mereka pelosok dan sulit diakses. Keraguan itu dijawab dengan klaim bahwa lokasi itu merupakan tempat sakral bagi umat Hindu.

“Tempat itu secara spiritual adalah petilasan, peninggalan kerajaan pertama Pasundan. Nilai magisnya luar biasa, cocok untuk pura kami,” kata Pande Cakra.

“Soal akses jalan, tidak sulit. Ada jalan raya, mobil bisa masuk ke sana,” tuturnya.

Merujuk data PHDI Bekasi, penganut Hindu di kabupaten itu mencapai enam sampai tujuh ribu orang. Hingga saat ini mereka tidak memiliki rumah ibadah dan beribadah di Pura Agung Tirta Bhuana yang berada di kawasan Jakasampura, Kota Bekasi.

Pura ini terletak sekitar 30-40 kilometer dari lokasi yang bakal dijadikan pura di Sukahurip. Pande Cakra menyebut pura itu semakin sesak karena tak mampu menampung umat Hindu dari kota dan kabupaten Bekasi.

Pegiat Kebebasan Bergama Bereaksi

Di sisi lain, pegiat kebebasan beragama juga bereaksi, peneliti dari institut untuk demokrasi dan perdamaian, Setara Institute for Demojcracy and Peace menyebut jumlah umat tidak semestinya menjadi dasar pendirian tempat peribadatan.

Mereka mendesak pemerintah untuk mengubah regulasi pembangunan rumah ibadah yang dinilai terus memicu dikotomi mayoritas-minoritas

Menurut Halili, bagaimanapun izin pembangunan peribadatan semestinya tak merujuk pada umat yang bakal menggunakannya.

Regulasi yang diterapkan pemerintah, menurut Halili, selama ini kerap memicu penolakan dan gesakan antarkomunitas agama.

“Negara seharusnya memfasilitasi, bukan membatasi. Mau dua-tiga orang umat, ya harus difasilitasi. Pemerintah seharusnya mempermudah, bukan mempersulit. Revisi peraturan mutlak dilakukan,” ucapnya.

Halili berkata, pembatasan izin pendirian rumah ibadah berdasarkan jumlah umat tak sesuai dengan perlindungan hak beragama yang diatur konstitusi. Hak yang paling berkaitan langsung dengan beragama adalah memiliki atau mengakses tempat ibadah. Harusnya tidak perlu syarat itu, gimana orang bisa beragama kalau tidak punya tempat ibadah,” kata dia.

Namun Juru Bicara Kementerian Agama, Mastuki, menilai permasalahan yang muncul di Kabupaten Bekasi tak semestinya terjadi jika para pihak duduk bersama mendiskusikan rencana pembangunan pura.

“Kalau ada pihak yang menolak, mungkin itu karena belum ada kesepahaman. Penting untuk mempertemukan pihak terkait agar tahapnya lebih maju. Kalau menolak tapi syaratnya sudah ada, itu tidak produktif,” ujarnya.

Mastuki mengatakn, pemerintah tak pernah mempersulit pendirian peribadatan. Karena, kata dia, pemerintah daerah justru didorong memfasilitasi umat yang urung memiliki tempat persembahyangan.

“Jika suatu daerah tidak ada rumah ibadah umat, pemda perlu memfasilitasi, baik bangunan permanen atau sementara. Yang terjadi saat ini di Bekasi, karena masih ada penolakan, peribadatan bisa difasilitasi oleh pemda,” tegas Mastuki.

FKUB Angkat Bicara

Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Bekasi KH Athoillah Mursjid menyatakan panitia pembangunan Pura sudah menyampaikan proposal permohonan rekomendasi kepada FKUB dan akan diverifikasi.

“Berdasarkan Peraturan Meteri Bersama (PMB) Nomor 8 dan Nomor 9 Tahun 2006 bahwa persyaratan pendirian rumah ibadah harus memenuhi persyaratan. Pertama, calon pengguna rumah ibadah itu sekurang-kurangnya 90 orang,” katanya.

Menurut dia, peraturan tersebut beriringan dengan bukti tanda tangan dan fotokopi KTP yang sudah dilegalisasi oleh kepala desa setempat atau Disdukcapil.

Namun, apabila calon pengguna rumah ibadah di daerah itu tidak mencapai 90 orang, disahkan mengambil dari desa lain atau kecamatan lain, asalkan masih berada di lingkup Kabupaten Bekasi.

“Kedua, harus dilengkapi dengan surat pernyataan persetujuan dari warga sekitar, sekurang-kurangnya 60 orang. Dibuktian dengan tanda tangan dan fotokopi KTP,” jelas dia.

Athuillah mengakui jika data sementara yang masuk ke FKUB memang sesuai aturan. Hanya saja, pihaknya tinggal melakukan verifikasi kepada warga yang membubuhkan tanda tangan.

Berdasarkan pengalamannya, penolakan muncul karena saat pengumpulan tanda tangan warga setempat, panitia pembangunan tidak secara gamblang mengutarakan maksudnya. Sehingga, ketika masyarakat mengetahui pengumpulan tanda tangan untuk rumah ibadah, mereka merasa diperdaya.

“FKUB akan verifikasi lapangan. Kalau data yang 90 itu enggak ada masalah, karena kan itu jemaat mereka. 60 ini yang kita verifikasi lapangan,” jelasnya.

Kata Athoillah, keinginan umat Hindu di Sukatani membangun pura karena selama ini untuk beribadat mereka mesti pergi ke pura yang ada di Kota Bekasi.

“Jadi memang selama ini beribadat di Kota, karena belum punya pura di Kabupaten Bekasi. Makanya mereka ingin bangun di Kabupaten Bekasi. Jadi, kala persyaratannya memenuhi, sah-sah saja,” katanya.

Ia mengingatkan, rekomendasi FKUB bukan berarti izin. Rekomendasi itu akan diberikan kepada kepala daerah dan tinggal kepala daerah yang memutuskan memberi izin atau tidak.

“Rekom keluar kalau sudah sesuai aturan. Rekom bisa dikeluarkan FKUB kalau situasi kondusi. Aturan, sesuai tapi di bawah masih ada gejolak, enggak bisa itu. Kita tahan dulu,” jelasnya.

Mengenai jadwal verifikasi lapangan, KH Atho, panggilan akrabnya, belum menentukan waktunya.

Kasi Pemberdayaan Masyarakat Desa Kecamatan Sukatani, Azis, mengatakan keluarga almarhum Uko memang telah mengumpulkan tanda tangan persetujuan sejumlah warga. Tetapi menurutnya, lebih banyak warga yang menolak rencana pembangunan pura itu.

“Sudah ada dukungan dari masyarakat sebanyak 60 orang di lingkungan situ terkait pembangunan Pura, yang menolak mah yang demo (memasang) baliho itu sekitar kalau nggak salah ya 1.000 orang,” ujar Azis.

Pantauan dilapangan, tiga baliho berukuran sekitar 1,5 x 2,5 meter berdiri di tepi Jalan Sukamanah, Desa Sukahurip, Kecamatan Sukatani, Kabupaten Bekasi yang berisi penolakan terhadap rencana pembangunan Pura sudah tak nampak lagi.

Sebelumnya terdapat baliho spanduk dimana tertulis para ulama beserta masyarakat Desa Sukahurip dan Desa Banjarsari, menolak dengan keras pembangunan tempat ibadah Pura di Desa Sukahurip.

Bahkan terdapat spanduk yang tulisannya monohok. Tulisan itu menyebutkan warga siap jihad jika terjadi pembangunan Pura di wilayahnya.

Pantauan saat ini di lokasi yang rencananya akan dibangun pura. Lokasi tersebut merupakan sebuah kebun. Belum tampak ada pondasi atau pun material untuk membangun pura di lokasi. Hanya ada sebuah ‘tugu’ khas Bali berwarna kuning di lokasi.

(Redaksi)

  • Bagikan