Islam Dalam Kemajemukan dan Moderasi

  • Bagikan
Ilustrasi Abad Pertengahan
Ilustrasi Abad Pertengahan

Islam secara teologis dan praktek Nabi SAW secara historis memandang positif kemajemukan. Ia adalah sunnatullah dan tanda kekuasaan-Nya. Karenanya menjalin persatuan dan ukhuwwah sejati umat Islam di Indonesia tidaklah sulit, selama tidak diorientasikan memfusi golongan- golongan yang ada. Suatu usaha yang mustahil dan hanya akan menambah banyak golongan Islam.

Karna sejatinya manusia adalah mahkluk social yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Seperti yang ada dalam salah satu ukhuwwah fi din al-islam, yakni persaudaraan antara sesama Muslim, “maka (mereka adalah) saudara-saudaramu seagama (Islam)”.

Begitulah ajaran dasar tentang kemajemukan dalam intra Islam dilengkapi dengan ajaran dasar lain tentang ukhuwwah, kemudian diteruskan dengan persaudaraan kemanusiaan.

Kemajemukan keagamaan itu menandaskan pengertian dasar bahwa semua agama diberi kebebasan untuk hidup, dengan resiko yang akan ditanggung oleh para pengikut itu masing-masing, baik secara pribadi maupun kelompok.

Secara sosiologis, pemahaman ini dapat ditafsirkan sebagai suatu harapan kepada semua agama yang ada bahwa semua agama itu pada mulanya menganut prinsip yang sama, yaitu keharusan untuk menyembah hanya kepada Tuhan yang Maha Esa.

Inilah kalimatun sawa atau “titik temu” yang diserukan al-Quran kepada semua agama-agama yang ada, terutama mereka yang disebut al-Quran sebagai ahli kitab

• Moderasi Agama

Moderasi adalah sebuah kata sifat, turunan dari kata moderation, yang berarti tidak berlebih-lebihan atau sedang.

Seperti yang dikutip dr penjelasan Ibu Dr Hj nihayah wafiroh. MA “bahwa moderasi adalah jalan tengah, sesuatu yang baik, pengurangan kekerasan, penghindaran keekstreman, dan tidak kelebihan ataupun kekurangan.

Dalam kutipan tersebut bisa disimpulkan bahwa moderasi adalah suatu sikap yg baik yang berada didalam keseimbangan dan sikap yang tidak merendahkan atau meninggikan sesuatu, dengan ide dasarnya yaitu mencari persamaan. Dengan kesimpulan bahwa aktualisasi Moderasi beragama adalah mengadakan keseimbangan/jalan tengah dalam cara mengamalkan agama.

Prinsip-prinsip dasar dan nilai dari moderasi agama:

1. Tawazzun/ keseimbangan

2. Tawasut/ sikap tengah tengah

3. Moderat/ toleransi atau bermurah hati

4. Amar maruf nahi munkar

5. Adil

Moderasi beragama (dari perspektif psikologi agama) yang dikutip dari penjelasan Roni Ismail bahwa moderasi agama adalah “ Sebuah cara pandang terkait memahami dan mengamalkan agama agar dalam menjalankan nya selalu dalam jalur yang moderat yang berarti tidak berlebihan atau ekstrem. Yang dimoderasi disini adalah BERAGAMA bukan AGAMA itu sendiri.”

Sebagaimana yang dari kata yang dikutip tersebut, moderasi agama adalah ‘cara pandang yang seimbang dalam konteks ‘cara beragama’ jadi yang di moderasi bukan sebuah “agama” nya tapi “caranya”

Bukan berarti moderat dalam beragama itu kita menjadi lemah dalam menjalankan agama dan menyukai kebebasan, akan tetapi kita bisa menyeimbangkan adanya urusan akhirat dan duniawi.

Dan bisa menghargai agama lain maupun madzhab lain di sekitar kita dengan tidak meremehkan keyakinan orang lain atau bahkan bersikap ekstrem dengan menyakiti orang lain yang tidak sependapat oleh kita.

• Saling Menghargai Dan Toleransi

Prinsip toleransi mengubah pertentangan dan tindakan saling bermusuhan dan prasangka antara agama-agama menjadi suatu studi ilmiah mengenai kejadian dan perkembangan agama-agama dengan tujuan memisahkan akresi-akresi historis dari ajaran aslinya.

Pandangan Islam yang secara normative sangat positif terhadap pengakuan pluralisme dan kebebasan memeluk agama ini, dengan sendirinya menumbuhkan rasa inklusivisme di kalangan kaum Muslim masa awal, sebab antara sikap kemajemukan dan keterbukaan merupakan dua entitas yang saling terkait dan tak terpisahkan.

Indikasi itu dapat dilihat dari adanya kesediaan dan perintah al-Quran untuk tetap berlaku adil kepada agama lain atas dasar perjanjian damai yang saling menghormati, pengakuan akan kebebasan untuk beragama, dengan mempersilahkan semua manusia untuk menerima memeluk Islam atau tidak.

Manusia adalah makhluk sosial, yakni membutuhkan manusia lainnya untuk mobilitas serta ke-eksistensinya hidup didunia ini selama hidupnya. Disisi lain manusia juga membutuhkan asupan batinnya yang dapat dipenuhi oleh kegiatan manusia kepada Tuhannya, untuk mendapatkan keduanya.

Manusia dihadapi banyak rintangan yang dimana pemahaman manusia tentang itu berbeda-beda yang umumnya disebut masyarakat yang majemuk baik dilihat dari segi agama maupun sosialnya. Jadi, memang sangat diperlukan sikap sikap toleransi dan menghormati perbedaan yang ada dan selalu menerapkan ketauhidan dalam melaksanakan nya itu dengan saling menghargai dan bertoleran.

Penulis: Adinda Fitria Yasmin (Mahasiswi UIN Jogjakarta, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam)

 

 

  • Bagikan