Sudah sekian kalinya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sumur Batu di Bantar Gebang, Kota Bekasi, Jawa Barat mengalami longsor.
Teranyar, tumpukkan sampah yang mengunung pada zona V itu longsor, Senin (8/4/2019) malam dan baru diketahui Selasa (9/4/2019) dini hari.
Longsornya TPA Sumur Batu di sebut-sebut sebagai malapetaka. Betapa tidak, akibat longsor itu material sampah bercampur leachate menutup lahan kosong, kali Ciketing,l dan jalan operasional TPST Bantar Gebang.
Bahkan, dalam peristiwa itu Truk sampah milik DKI Jakarta terguling saat hendak menurunkan muatan. Longsor itu juga menyebabkan ratusan meter pagar arkon terendam lindi.
Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNAS) Bagong Sutoyo menegaskan jika peristiwa longsor gunung sampah adalah malapetaka bagi warga di sekitar.
Kata dia, meski tidak memakan korban jiwa, longsornya TPA Sumur Batu merendam belasan gubuk di wilayah RT 04/03 Sumur Batu.
“Ketika hujan genangan air lindi bercampur sampah makin tinggi. Sehingga kehidupan pemulung tidak nyaman. Gubuk-gubuk itu tidak bisa ditempati lagi,” katanya kepada GoBekasi.ID, Rabu (10/4/2019).
Menurut Bagong, pengelolaan TPA Sumur Batu dengan sistem open dumping oleh Pemerintah Kota Bekasi adalah kondisi yang sangat buruk. Bahkan, sangat rawan terhadap pencemaran lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat.
“Kondisi buruk tersebut bertentangan dengan UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah. UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. PP No. 81/2012, dan peraturan terkait,” bebernya.
Dari peristiwa ini, kata Bagong, sejatinya Pemerintah Kota Bekasi berkaca agar tak terulang seperti tahun-tahun sebelumnya.
Misalnya saja pada Zona III dan IV beberapa tahun lalu yang mengalami longsor hingga memakan korban jiwa.
“Jika tak hati-hati dalam mengelola sampah akan timbulkan malapetaka, seperti tragedi TPA Leuwigajah tahun 2005, yang memakan ratusan jiwa manusia dan harta bendanya,” tegas dia.
Pria yang menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Pelapak dan Pemulung Indonesia (APPI) ini juga mengindikasi adanya masalah utama yang menyelimuti TPA Sumur Batu.
Pertama, jumlah volume sampah semakin banyak sementara zona operasional terbatas. Hal ini diperparah akibat kurangnya alat berat, seperti beackhoe dan buldozer.
Kedua, lanjut Bagong, penataan sampah dan cover-soil tidak dilakukan secara berkala. Misalnya adalah ketinggian sampah 2-3 meter segera ditutup tanah merah setebal 20-25 meter.
Ketiga, pembangunan zona baru tidak sesuai standar dan anatomi konstruksi sanitary landfill. Ia menilai, kondisi zona baru tidak normal dan sangat buruk, terlebih tidak ada pengawasan dan penegakkan hukum.
Ke empat, sambungnya, TPA Sumur Batu hanya memiliki satu Instalasi Lengolah Air Sampah (IPAS) di bagian utara. Dengan kondisi demikian, tidak dapat menampung seluruh leachate TPA tersebut.
“Sebagian besar leachate langsung mengalir ke Kali Ciketing, Kali Asem terus ke Regency, Dukuh Zamrud, Mutiara Gading hingga ke laut. Kondisi sangat mengkhawatirkan dan perburuk kualitas lingkungan hidup,” jelas dia.
Terakhir atau kelima, kata Bagong, beberapa infrastruktur pengolahan sampah dibiarkan mangkrak menjadi besi karatan, seperti sorting plant.
Bahkan composting plant terurug sampah longsor dari zona III. Sama halnya proyek mesin landfill flaring gase (LFG), pembakaran gas metana jadi CO2 kini merana. Disana kata dia, ada semacam insinerator kecil namun tak dioperasikan.
“TPA Sumur Batu penuh dengan proyek tapi keberlanjutannya penuh tanda tanya besar sehingga dapat dikatakan dengan rasa getir. Disini tidak ada pengolahan dan pengurangan sampah secara signifikan. Misalnya bisa mengolah 30-50 persen dari total sampah yang masuk ke TPA. Perkataan ini merupakan pengandaian dan tidak ada faktanya,” beber dia.
Menurut dia, upaya untuk membenahi TPA Sumur Batu perlu dilakukan revitaliasi total. Wali Kota Bekasi dengan Ketua DPRD tentu harus bertanggung jawab penuh dalam menyelesaikan permasalahan tersebut.
Kerja dalam jangka pendek kegiatan penanganan longsor merupakan kegiatan teknis. Terutama harus menambah alat berat, seperti backhoe, perlu 2-3 unit. Membersihkan sampah dan leachate dan memulihkan kondisi kali Ciketing.
Penumpukan sampah dan cover-soil, pembenahan pagar arcon, melakukan evaluasi atas pembangunan zona baru serta pengawasan dan penegakkan hukum menurutnya wajib di jalankan.
Sementara itu, kata dia, kegiatan jangka menengah pihak eksekutif dan legislatif dapat melakukan evaluasi menyeluruh pengelolaan TPA Sumur Batu. Contohnya, studi daya tampung dan melakukan redesain TPA.
“Yang sangat esensial membangun satu IPAS yang besar untuk mengolah lindi bagian selatan. Selain itu dibarengi dengan program dan kegiatan pengolahan sampah dengan multi-teknologi,” ucapnya.
Untuk kegiatan jangkan panjang, Pemkot Bekasi harus membangun infrastruktur pengolahan sampah secara massif, yaitu composting plant, plastic recycling, wood tecycling, metal recyling, Waste to Energy (WtE). Menurutnya, program dan kegiatan pengolahan sampah harus punya target tinggi.
“Sebetulnya Pemkot Bekasi harus memiliki Master Plan atau Action Plan Pengelolaan Sampah, kemudian di Perda kan. Master plan harus disusun secara serius dengan melibatkan para ahli. Di sini peran Walikota dan Ketua DPRD kota Bekasi sangat penting dan strategis,” jelas Anggota Dewan Pengarah dan Pertimbangan Pengelolaan Sampah Nasional (DP3SN) ini.
Tujuannya, supaya pemerintah punya panduan dan pijakan jelas dan bergaransi dalam pengelolaan sampah, mulai dari sumber hingga TPA.
Ia menekankan, penyelesain penanganan sampah tidak bisa hanya bertumpu pada TPA. Sebab, TPA harus dikelola secara modern, canggih dan saniter.
“Wajah dan perlengkapan seperti pabrik atau lapangan terbang modern dan indah. Bukan zamannya lagi TPA dikelola asal-asalan alias buruk. Segera Wali Kota Bekasi mencanangkan Gerakan Olah Sampah dari Sumber Menuju Peradaban Baru,” pungkasnya.