Pemerhati Semprot Eks Dirtek PDAM TB Soal Pemisahan Aset

Eks Direktur Teknik (Dirtek) PDAM Tirta Bhagasasi Dudi Setiabudi ikut berkomentar soal wacana pemisahan aset antara PDAM Tirta Bhagasasi dan Tirta Patriot.

Menurut Dirtek PDAM TB periode 1992-1998 ini, pemisahan dalam pengolaaan air bersih antara kota dan kabupaten Bekasi dinilai belum perlu, karena jika dilakukan pemisahan harus didahului adanya kajian yang mendalam terutama dari segi ekonomi maupun dampak politik serta potensi kedepan.

Ia menyampaikan, seharusnya PDAM kota dan kabupaten Bekasi lebih mengutamakan pelayanan prima terhadap pelanggan karena jumlah pelanggan di wilayah Bekasi meningkat dibanding dengan eranya saat itu.

“Saya harap jangan cepat memutuskan untuk melakukan pemisahan aset pendapatan daerah ini kepuasan layanan pelanggan lah yang perlu dikedepankan,” kata Dudi belum lama ini.

Sebab, saat Dudi menjabat sebagai Dirtek notabene jumlah pelanggan masih minim atau sekitar 20 persen ditambah biaya operasional yang tinggi. Sehingga tidak dimungkinkan dilakukan pemisahan mengingat saat itu Kota Bekasi memiliki 80 persen pelanggan ditambah pendapatan yang tinggi. Menurutnya, jika dilakukan pemisahan saat itu tentu bisa berdampak fatal alias mengalami kebangkrutan.

“Sekarang ini PDAM Tirta Bhagasasi Bekasi sudah bagus tinggal memanfaatkan peluang yang ada saja dan mampu menambah jumlah pelanggan,” ujarnya

Menyikapi hal itu, Pemerhati Politik, Sosial dan Ekonomi Daerah, Syafrudin mengatakan jika pengelolaan air bersih siap guna sudah sangat urgent dilakukan.

“Tidak seperti yang dikatakan oleh pak Dudi Setiabudi selaku mantan Dirtek Tirta Bhagasasi. Menurut saya pada waktu dulu boleh saja pertimbangannya secara modal masih belum memungkinkan dilakukan agar Tirta Patriot bisa berdaya secara operasional, tapi apa yang beliau maksudkan dengan dampak secara politis dan potensi kedepan? secara politis, sudah sangat jelas bahwa ada batas teritorial pemerintahan yang di dalamnya mencakup secara demografis sejak terbentuknya Pemerintah Kota Bekasi, secara potensi kedepan TB sangat berlimpah jika benar-benar dilakukan upaya perencanaan yang kreatif konstruktif,” papar Syafrudin.

Malahan, Syafrudin menyoroti capaian MDGs di tahun ini lantaran semenjak beberapa tahun lalu justru yang muncul PDAM TB kerap membeli air curah dari Tirta Patriot dengan pembayaran sering menunggak.

Ia menegaskan, pengelolaan air bersih siap guna dan sanitasi menjadi sangat urgen dilakukan oleh setiap pemerintah daerah.

Kendala pemisahan aset ini dimata dia ada sisi arogansi pemerintah Kabupaten Bekasi. Bisa dibilang kata dia, tidak adanya political will agar terlaksananya penyerahan aset yang saat ini berada di wilayah  Kota Bekasi.

“Appraissal yang sudah dilakukan beberapa kali dievaluasi, namun tetap saja menyatakan belum bersepakat. apa bukan dianggap menghambat jika demikian? secara kultur Kota dan Kabupaten itu bersaudara, yang namanya saudara seharusnya saling memperkuat agar bisa tumbuh dan berdaya di era persaingan global,” imbuhnya.

Profesionalitas para Direksi dan BP Tirta Bhagasasi seyogyanya sudah sangat bisa dilihat dan rasakan, dengan cakupan wilayah yang begitu luas tentunya menjadi tantangan tersendiri.

Misalnya, lanjut Syafrudin, tentang gaimana rencana aksi dalam menjawab tantangan menambah pelanggan baru dan sekaligus reaksi cepat jika terjadi kendala pada sambungan aliran air bersih ke rumah pelanggan.

“Hal yang patut saya garis bawahi pernyataan Dirut TB pada saat Hari Pelanggan Nasional, bapak Dirut yang terhormat menganggap hal yang umum jika masih ada airnya keluar kecil dan keruh, hal yang umum saya anggap hal yang lumrah, semudah itu mengeneralisir hal yang sepatutnya bisa diminimalisir kendala seperti itu. Air keruh bukan berarti tidak bisa diupayakan bahan baku untuk mengolah air keruh dan limbah sekalipun menjadi air bersih layak pakai bagi pelanggan, dan air kecil yang sering dikeluhkan oleh pelanggan jika memiliki daya kreatif untuk mendapatkan sumber air sendiri tanpa membeli air baku, bisa saja hal itu terjawab. Air keruh dan kecil adalah tolok ukur profesional Direksi dan BP, sudah waktunya profesional yang sebenar-benarnya dilakukan,” paparnya.

Ia kembali menegaskan jika PDAM TB yang di nakhodai Usep Rahman Salim tetbilang sangat wajar jika perolehan laba perusahaannya hanya di angka rata-rata 33 miliar per-bulannya.

Menurutnya hal itu karena visi dan gaya manajerialnya sangat tidak berpengaruh signifikan terhadap capaian income perusahaan.

“Kita lihat Laporan Efensiensi dan Efektifitas Penerimaan Air Non Denda dan PPn Periode Januari sampai Agustus 2019  hanya sebesar Rp 266,843,807,629. Lalu di simulasikan gaji, operasional dan laba perusahaan staf golongan B1 sampai dengan B4 rata-rata Rp 6-9 juta. Golongan C1 sampai dengan C4 rata-rata Rp 13-14 juta, lalu Direksi Rp 30-40 juta,
Dewan Pengawas Rp 15-20 juta, selebihnya untuk operasional kinerja perusahaan,” tukasnya.

“Bagaimana bisa memperkuat keuangan daerah jika hanya sebatas itu income perusahaannya? dan kemungkinan banyak anggaran penyertaan modal yang bocor seperti pipanya yang sering bocor dan airnya kecil untuk digunakan pelanggan,” sambungnya.

Ia menambahkan, penyertaan modal yang diberikan oleh Pemkab dan Pemkot Bekasi, sangat berarti bagi pembangunan daerah.

“Jika Pemkot selalu berikan penyertaan modal ke PDAM TB, lebih baik fokus pada aspek penguatan PDAM TP, sudah waktunya pula PDAM TP menjadi Perusahaan Daerah, bukan sebatas Badan Usaha,” pungkas Syafrudin.

(MYA)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *