Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 yang meliputi Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan Legislatif dan Dewan Perwakilan Daerah menjadi ‘pil pahit’.
Betapa tidak, dalam gelaran pesta demokrasi lima tahunan ini, terdapat ratusan korban jiwa melayang demi para kontestan yang bertarung di Pemilu 2019.
Di Kota Bekasi, Jawa Barat, misalnya. Terdapat 4 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal.
Pertama yakni Ahmad Salahudin (43), Ketua KPPS 81, RT 03/10, Kelurahan Kranji, Kecamatan Bekasi Barat, Kota Bekasi.
Kedua, Fransiskus Asis Ismantara (53) Ketua KPPS TPS 31, RT 07/02, Kelurahan Bojong Rawalumbu, Kecamatan Rawalumbu, Kota Bekasi.
Ketiga, Sudirjo (58) anggota KPPS yang bertugas di TPS 126 Jalan Panaitan No.9 RT 004/014, Kelurahan Arenjaya, Kecamatan Bekasi Timur, Kota Bekasi.
Keempat, Sonny Soemarsono Anggota KPPS TPS 157 di Perum TVRI Blok D-5/16 RT 08/18, Kelurahan Jatirahayu, Pondok Melati, Kota Bekasi.
Kepergiaan Ahmad Salahudin (43) pada, Kamis (18/4/2019) meninggalkan tiga orang anak dan satu istri. Salahudin meninggal akibat kecelakaan di Jalan Raya Pekayon, Jatiasih, Kota Bekasi.
Salahudin mengalami kecelakaan tragis saat hendak mengantarkan anaknya ke Pesantren Darusalam di Cimanggis, Bogor, Jawa Barat.
Peristiwa naas itu terjadi sekitar pukul 06.20 WIB. Salahudin sempat dilarikan ke Rumah Sakit Kartika Husada, Jatiasih, Kota Bekasi.
“Pada pukul 06.30 WIB dilarikan ke rumah sakit masuk ruang IGD (Instalasi Gawat Darurat). Tindakan medis sudah dilakukan, Jam 06.45 WIB sudah dinyatakan beliau meninggal dunia,” kata Kakak kandung korban, Ahmad Syaefuddin (45), Rabu (24/4/2019) kepada GoBekasi.ID.
Syaefuddin menduga kuat jika sang adiknya kelelahan selama bertugas menjadi Ketua KPPS di TPS 81 RT 03/10, Kelurahan Kranji, Kecamatan Bekasi Barat, Kota Bekasi.
Sebab, sebelum pemungutan suara, Salahudin bekerja lembur selama 3 hari. Sang adik bekerja bersama dengan para anggota lainnya mulai dari menulis surat undangan atau C6 sampai dengan proses perhitungan kotak suara.
Pada Rabu (17/4/2019), Salahudin harus melaksanakan pemungutan suara dengan 5 kota suara. Ia dapat membayangkan bagaimana lelahnya menjadi KPPS.
Misalnya saja, kata Syaefuddin, jika 5 kotak suara dikali jumlah pemilih yang ada di TPS sebanyak 300 orang. Maka yang akan dihitung sebanyak 1.500.
Menurutnya, proses itupun dilakukan dengan hati-hati agar tidak ada kesalahan. Ia menduga, hal ini yang menjadi faktor lelahnya hampir semua kepanitian TPS sehingga nyaris sampai pukul 04.00 WIB, Kamis (18/4/2019).
Bahkan, kata dia, ada beberapa TPS yang belum selesai penerimaan karena masih dalam proses perhitungan. Ia menyebut 2 hari itu begitu panjang dan melelahkan dirasakan oleh semua anggota.
“Nyaris mereka semua kurang memperhatikan makan, karena didesak oleh waktu pelakasanaan dan persiapan yang sangat pendek. Selepas itu almarhum pulang untuk solat subuh dan langsung mengantar putranya ke Pondok Pesantren, karena jam 07.00 WIB harus sudah ada di tempat sehubungan ujian pondok pesantren maka beliau berusaha agar anaknya tiba sebelum ujian berlangsung,” papar Syaefuddin.
Di Jatiasih, kata dia, terjadilah kecelakaan antara sepeda motor Salahudin dengan truk pengangkut sepeda motor.
Menurut keterangan anak Salahudin, lanjutnya, motor yang dikendarai sudah oleng alias lepas kendali. Ia menduga Salahudin terlibat kecelakaan karena faktor kantuk dan kelelahan hingga kecelakaan tak bisa di hindarkan.
“Penuturan putranya ketika dibonceng sudah oleng motor ke arah kanan, kemungkinan diduga tertidur. Dari arah berlawanan truk pengangkut motor melaju dengan kecepatan kencang dan tabrakan tidak bisa dihindari,” jelas dia.
Duka tersebut tidak saja dirasakan oleh keluarga Ahmad Salahudin. Satu hari setelah kepergian Salahudin, teman seperjuangannya Fransiskus Asis Ismantara (53), Ketua KPPS TPS 31, RT 07/02, Kelurahan Bojong Rawalumbu, Kecamatan Rawalumbu, Kota Bekasi pun pergi untuk selama-lamanya.
Kepergian Fransiskus Asis Ismantara pada, Jumat (19/4/2019) membuat banyak pihak bersimpati. Ismantara meninggal dunia akibat serangan jantung.
Anak pertama dari Ismantara, Hilarius Indra Hermawan (25) mengaku jika orang tuanya itu pantas untuk dijuluki sebagai ‘Pahlawan Demokrasi’. Sebab, sang ayah dimata Indra adalah orang yang penuh tanggung jawab.
“Cara almarhum bekerja dari H-1 sampai hari H selesai sih selalu tegas dan bertanggung jawab sekali yaa. Semua urusan KPPS harus dia selesaikan bagaimana mestinya aja. Tidak mau dicampur tangankan ke orang lain. Kerja juga dari pagi sekali kira-kira 06.30 WIB sudah kumpul di TPS,” ujar Indra.
Indra menjelaskan kegigihan sang ayah menjadi Ketua KPPS TPS 31, RT 07/02, Kelurahan Bojong Rawalumbu, Kecamatan Rawalumbu, Kota Bekasi yang harus pulang malam dan lalu lalang mengurus dokumen demi suksesnya pesta demokrasi ini.
Pada Rabu (17/4/2019), Indra dan keluarga sudah melihat raut wajah Ismantara yang berbeda. Ismantara mengeluarkan aura yang tidak biasanya.
“Pas hari H pencoblosan itu keliatan banget muka almarhum sangat pucat. Nah pas di Hari H itu kebetulan beliau selesai jam 12 malam kemudian istirahat,” ujarnya.
Indra meyakini betul jika sang ayah sangat kelelahan. Namun meski lelah, Ismantara urung menyantap sajian masakan yang telah dibuat oleh sang istri.
“Cuma makan beberapa snack aja dan itu pun engga cukup buat ganjel perut,” kata Indra.
Wajah Ismatara yang semakin memucat diduga kelelahan akibat aktivitas padat selama dua hari terkahir membuat keluarga panik. Akhirnya sang ibu memutuskan membawanya ke Rumah Sakit Saint Elisabeth, Kecamatan Rawalumbu, Kota Bekasi.
“Bapak sempat menolak dibawa ke rumah sakit, dia juga enggak mau dipanggil dokter. Namun sekitar pukul 03.00 WIB kami akhirnya memutuskan membawa ke Rumah Sakit Saint Elisabeth Rawalumbu Bekasi.
Saat dibawa ke rumah sakit, pihak dokter sudah angkat tangan lantaran kondisi bapak dua anak ini sangat menurun.
“Meninggal sekitar pukul 05.00 WIB, udah dikasi obat lewat infus enggak mempan, jadi tensinya enggak naik, memang kondisinya udah drop, karena kata dokter fungsi jantungnya sudah tinggal sekian persen,” ungkap dia.
Indra mengaku jika sang ayah memang sudah mempunyai riwayat penyakit jantung sejak dulu. Bahkan, sejak Indra duduk di kelas 2 SD.
“Tapi akhirnya kambuh lagi kemarin setelah melaksanan pemilu sebagai KPPS. 2 minggu sebelum pencoblosan sempat berobat, tapi berehenti karena obatnya ga cocok dan bikin sesak napas,” ucapnya.
Keluarga Korban Minta Pemerintah Evaluasi Pemilu
Pihak keluarga koran di Kota Bekasi meminta agar Pemilu mendatang dapat di evaluasi. Pemerintah dan penyelenggara Pemilu diminta agar dalat berkaca dari pengalaman Pemilu
2019.
Ahmad Syaefudin dan Hilarius Indra Hermawan pun mendorong agar pemerintah dapat dengan bijak mengevaluasi Pemilu di kemudian hari.
Ahmad Syaefuddin meminta kepada pemerintah agar dapat berkaca dari pengalaman Pemilu 2019 ini.
Apalagi, honor petugas KPPS tidak sebanding dengan waktu yang disediakan serta apa yang diberikan oleh pemerintah.
“Harapan kedepan pemerintah bisa dengan bijaksana menyikapi Pemilu, kiranya tidak lagi disatukan sebagaiamna baru saja berlangsung. Artinya pemilihan presiden hendaknya secara terpisah dan juga begitu pileg lainnya,” kata dia.
Menurutnya, pemerintah harus berfikir matang dalam persiapan Pemilu. Kata dia, jangan hanya karena ingin irit dalam pengeluaran tapi tidak efektif dalam pelaksanaan.
“Ini koreksi, ini evaluasi kepada pihak pemerintah akan tetapi karena ini sudah terjadi dan juga banyak korban baik sakit dan termasuk meninggal dunia, kiranya pemerintah bisa mengapresiasi kinerja para KPPS yang juga mereka adalah ujung tombak terlaksananya pesta demokrasi,” tuturnya.
Syaefuddin sendiri mengaku berayukur Pemerintah Kota Bekasi dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah memberikan apresiasi kepada para korban dan pihak keluarga dari KPPS, panwascam hingga instansi kepolisian yang menjadi korban.
Syaefuddin sendiri kepada pemerintah pusat mengaharapkan adanya perhatian lebih kepada para keluarga korban. Sebab, kata dia, almarhum dan almarhumah memiliki penerus kehidupannya yaitu anak-anaknya.
“Berharap hanya berharap walaupun yakin toh ada yang mengatur semua rezeki. Tapi sebagai manusia biasa, berharap kiranya pemerintah bisa membantu memperhatikan para yatim dari almarhum atau almarhumah lainnya yang masih dalam pendidikan untuk di fasilitasi, diberikan bantuan sampai dengan tugas pendidika yang harusnya ada pada almarhum atau almarhumah bisa selesai untuk mereka, itu harapan dan itu juga keinginan tentunya semoga semua menjadi amal ibadah,” tandasnya.
Sementara Hilarius Indra Hermawan meminta agar pemerintah dapat memhami apa yang sudah disumbangkan oleh para panitia KPPS di lapangan.
“Pesan kami dari keluarga sih paling minta evaluasinya aja mas, apakah dengan kerja berat seperti itu masih bisa dilanjutkan atau tidak? Mengingat bayaran untuk petugas pun tidak seberapa jika mereka yang jatuh sakit perlu berobat. Harus ada pengecekan KPPS juga, apakah mereka-mereka yang terpilih dalam keadaan sehat, punya riwayat sakit dan sebagainya. Itu saja sih,” paparnya.