Mata Puisi: Perjalanan Spiritual di Antara Kabut Dosa dan Pencerahan yang (Hampir) Mustahil

Penyair dari Kota Jakarta , Pulo Lasman Simanjuntak sedang baca sajak karya sendiri berjudul MATA PUISI yang ditulis pada Januari 2024.(Foto : Ist/Dok Pribadi)
Penyair dari Kota Jakarta , Pulo Lasman Simanjuntak sedang baca sajak karya sendiri berjudul MATA PUISI yang ditulis pada Januari 2024.(Foto : Ist/Dok Pribadi)

Pulo Lasman Simanjuntak menulis sajak berjudul  “Mata Puisi” seperti seorang wartawan eksistensial yang sedang meliput medan perang moral manusia modern.

Ia tidak hanya melaporkan fakta; ia menyuguhkan imaji yang membuat anda geleng-geleng kepala sambil tersenyum getir.

Dari kabut kota yang menyelimuti jiwa sampai rumah duka sebagai persinggahan iman yang lelah, ini adalah cerita tentang jiwa yang hampir kehabisan daya, namun tetap mencari harapan.

Dengan gaya yang memadukan khotbah rohani dan laporan investigasi, puisi ini adalah narasi kompleks yang membuat kita sadar: mungkin iman kita juga berada di ujung tali.

Di bagian pembuka, “menghitung hari-hari / nyaris buta (cemas!),” Lasman Simanjuntak  langsung membawa anda ke ruang gawat darurat spiritual.

Kota menjadi latar yang muram: ada asap, kabut, dan ketidakpastian. Seperti film noir versi rohani, elemen-elemen ini menggugah pertanyaan, “Apa yang salah dengan dunia?”

Namun, Lasman Simanjuntak tidak memberi jawaban mudah. Ia hanya berkata, “terus kususuri menuju rumah ibadah.” Tetapi rumah ibadah ini bukan katedral megah di kartu pos instagram anda. Tempat ini lebih mirip pos perbatasan di tengah perang, di mana jiwa yang “digerogoti ulat-ulat beracun” berharap pada mukjizat. Mukjizat? Baiklah, semoga beruntung.

Bagian kedua membawa anda lebih dalam, seperti laporan investigasi tentang konsumsi moral yang tidak terkendali.

“mulutku yang membusuk / telah menelan rakus,” kata narator, dan anda langsung paham bahwa ini tidak hanya tentang makanan haram atau minuman manis. Ini adalah representasi gaya hidup modern yang kita semua tahu salah, namun tetap kita jalani.

Layaknya makan makanan cepat saji sambil berkata, “Hanya kali ini.” Tapi metafora seperti “ikan dari selokan” tidak sekadar literal; itu mencerminkan segala hal yang kita serap—baik fisik maupun mental—tanpa memikirkan dampaknya terhadap jiwa.

Di bagian ketiga, “mata puisi ini / harus berlari ke rumah duka,” narator benar-benar di ujung keputusasaan. Rumah duka menjadi checkpoint terakhir sebelum semuanya selesai.

Tetapi bukannya damai, adegan ini justru dipenuhi kegelisahan. “Disuntik obat mata dosis tinggi,” adalah metafora yang ambigu: upaya pencerahan atau langkah terakhir yang sia-sia?

Dan ketika narator berkata ia berubah menjadi “tukang sihir,” anda mulai merasa ini bukan sekadar pencarian spiritual, melainkan transformasi ke absurditas eksistensial.

Ketidakmampuan “melihat sinar matahari berdiri tegak tiap pagi” melambangkan alienasi spiritual yang terus membayangi, bahkan setelah usaha keras untuk sembuh.

Bagian terakhir menghadirkan suasana akhir dunia, seperti klimaks film apokaliptik.

“pada malam ini / sesudah hujan dan petir bertandang di pekarangan rumah,” narasi membawa anda ke momen refleksi yang penuh getaran.

Namun, ada secercah harapan: “membaca kitab suci dengan mata kiri.” Mata kiri adalah simbol intuisi dan iman yang tersisa, bagian dari diri yang tetap menyala meskipun dunia terasa gelap. Ini seolah mengatakan: “Anda hanya punya satu senjata tersisa—percaya.”

Namun, Lasman Simanjuntak  tidak memberi akhir yang nyaman. Dalam baris terakhirnya, ia menulis,

“sampai nanti kita bisa bertemu lagi / di hamparan langit baru.” Ini seperti undangan untuk perjalanan rohani berikutnya, tetapi tanpa kepastian apakah kita sudah benar-benar siap.

Puisi ini tidak menawarkan resolusi; ia lebih seperti pintu terbuka yang mengajak anda untuk terus mencari, meskipun tidak ada jaminan anda akan menemukannya.

Mata Puisi adalah karya yang kaya dengan kritik sosial, pengakuan dosa, dan humor sinis yang halus.

Lasman Simanjuntak seperti melaporkan dari jantung krisis moral modern, mengajak anda untuk melihat dunia yang penuh kabut dosa dengan kejujuran brutal.

Puisi ini adalah laporan dari ruang batin yang rusak, namun tetap mengingatkan bahwa masih ada jalan keluar, meskipun kabut itu mungkin tidak akan hilang tanpa perjuangan.

Sajak

Pulo Lasman Simanjuntak

MATA PUISI

1//

menghitung hari-hari

nyaris buta (cemas !)

seperti puisiku yang menua

diselimuti asap kabut

dari pinggiran kota berawan

terus kususuri menuju

rumah ibadah

untuk mukjizat kesembuhan

di atas mimbar kesucian

membawa juga tubuhmu

digerogoti ulat-ulat beracun

dari dalam tanah basah

airmata terus berdarah

2//

sebelum aku merangkul

pekabaran tiap dinihari

rajin gerak badan di tikungan jalan

mulutku yang membusuk

telah menelan rakus

ribuan potong daging haram

ratusan ikan dari selokan

bahkan sering disuguhkan minuman biang gula

dari perkebunan teh yang tumbuh liar

di sekujur tubuhku

3//

maka kuputuskan( tiba-tiba !)

mata puisi ini

harus berlari ke rumah duka

disuntik obat mata dosis tinggi

lalu jadilah aku menjelma

jadi seorang tukang sihir

yang tak mampu melihat sinar matahari berdiri

tegak tiap pagi

4//

pada malam ini

sesudah hujan dan petir bertandang di pekarangan rumah

gelap gulita

harus kuselesaikan

membaca kitab suci

dengan mata kiri

menari-nari sendiri

aku harus kuat, pesanmu

sampai nanti kita bisa bertemu lagi

di hamparan langit baru

tanpa ada lagi

tangisan membuta

atau penyakit menular

sudah dimatikan seekor ular

damailah hati ini

Jakarta, Januari 2024

Penulis : Ikhsan Risfandi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *