Polemik Kartu Sehat berbasis Nomor Induk Kependudukan (KS-NIK) terus bergulir. Banyak yang mengira bahwa produk Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) itu adalah alat politik Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi dalam mendulang dukungan suara pada Pilkada 2018 lalu.
Namun, kekinian Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi melalui kesepakatan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kartu Sehat Bekasi telah meneken Kartu Sehat dalam Peraturan Daerah (Perda).
Pemerhati Politik, Sosial dan Ekonomi Daerah, Syafrudin mengatakan jika dalam aspek kesehatan masyarakat sejatinya menjadi kewajiban negara/pemerintah untuk menjamin layanan kesehatan gratis.
“BPJS dibentuk bukan agar masyarakat mandiri dalam layanan kesehatan, namun secara perlahan seharusnya BPJS bentukan pemerintah menggratiskan layanan kesehatannya,” kata dia, Minggu (16/12/2019).
Nyatanya, saat ini, program Jaminan Kesehatan Nasional (Jamkesnas) dalam produk BPJS Kesehatan justru mengganggu keuangan negara dengan defisit anggaran mencapai Rp 21 triliun.
Syafrudin menganggap jiia produk Kartu Sehat yang menjadi produk andalan Pemerintah Kota Bekasi dapat menjadi pilot projek bagi pemerintah daerah lain.
“Jika negara/pemerintah menginginkan kemandirian masyarakat untuk akses layanan kesehatan, bukankah itu artinya negara/pemerintah semakin menjauh dari apa yang sudah diamanatkan dalam UUD 1945 dan Pancasila?,” imbuhnya.
Syafrudin juga menyayangkan lembaga DPRD Kota Bekasi yang sebelumnya telah menjalin kesepakatan dengan eksekutif dalam pembuatan Perda layanan kesehatan saat ini berbalik mempersoalkan.
Padahal, lanjut dia, lesgislatif juga telah sepakat dengan mengesahkan anggaran layanan kesehatan berbasis NIK dalam APBD 2020.
“Artinya ada ketidakseriusan beberapa atau seluruh legislator DPRD Kota Bekasi untuk memperkuat layanan kesehatan di Kota Bekasi, sudahkah mereka yang terhormat meminta pendapat dari konstituennya yang sudah memiliki kartu KS dan bahkan sudah menggunakannya,” pungkas Syafrudin.