Upaya Pemkot Bekasi menghadirkan jaminan kesehatan untuk masyarakat adalah ikhtiar panjang yang sudah diupayakan dari waktu ke waktu. Di mulai dari era Wali Kota, Mochtar Mohamad hingga Rahmat Effendi.
Namun meski sudah lama dirintis, hingga saat ini hadirnya jaminan kesehatan masih menjadi pekerjaan rumah yang belum tuntas. Belum juga lahir sebuah skema yang pas, baik dari sisi manfaat dan maslahat semata, namun juga tidak bertabrakan dengan undang-undang dan paling penting tidak menjadi beban keuangan daerah.
Baca Juga: Pembacok Karyawati Cantik hingga Tewas Ditangkap
Di era Mochtar Mohamad misalnya, pertama kali jaminan kesehatan dirintis, program yang masih hijau tersebut belum mampu menjawab sepenuhnya kebutuhan masyarakat akan kesehatan. Hal ini bisa dianggap wajar, pasalnya saat itu kemampuan keuangan daerah masih terbatas ditambah fasilitas kesehatan milik Pemkot Bekasi juga masih minim.
Dalam perjalanannya, program ini banyak menjumpai masalah dan tidak lepas dari kritik di usianya yang baru seumur jagung itu.
Pada era Rahmat Effendi, upaya menghadirkan jaminan kesehatan untuk masyarakat sedikit menemui titik terang. Pelan tapi pasti, Rahmat mampu melakukan pembenahan. Dengan program yang dinamai Kartu Sehat Berbasis NIK (KS-NIK), layanan kesehatan ini menjadi primadona masyarakat Kota Bekasi.
KS-NIK menjelma menjadi semacam kartu sakti bagi warga yang membutuhkan layanan kesehatan. Hampir tidak ada keluhan dan cerita warga ditolak oleh rumah sakit.
Namun KS-NIK bukan tanpa cela, program ini banyak berbenturan dengan aturan dan sejumlah kebijakan di atasnya, salah satunya BPJS. Bahkan lembaga sekelas KPK saja sampai mengeluarkan surat yang intinya menyoal program KS-NIK.
Baca Juga: Anggota DPR Nuroji Cerita Pengalaman Buka Usaha Kuliner ke Warga Bekasi
Selain itu, KS-NIK menguras kantong pemerintah daerah. Ini karena program ini bisa digunakan oleh siapa saja asalkan ber-KTP Kota Bekasi dan semua penyakit dicover oleh layanan ini berapapun tagihan yang mesti dibayar.
Program ini pada akhirnya dihentikan dan digantikan dengan program bernama Layanan Kesehatan Masyarakat Berbasis NIK (LKM-NIK). Program yang nyaris mirip namun tak sama. Jika KS-NIK bisa diakses siapa saja, untuk LKM-NIK tidak semua warga bisa mendapat layanan ini. Sasaran utama LKM-NIK adalah warga yang tidak tedaftar dalam kepesertaan jaminan kesehatan milik pemerintah atau asuransi kesehatan lainnya.
Lantas bagaimana program LKM-NIK? Sejauh ini program tersebut mampu menjawab kebutuhan masyarakat akan kesehatan. Khususunya bagi mereka yang tidak punya jaminan kesehatan atau asuransi dan masyarakat tidak mampu tentunya yang menjadi sasaran utama program ini.
Namun kini, LKM-NIK masuk babak baru. Pemkot Bekasi baru-baru ini mengeluarkan suarat bernomor 440/2169/DINKES tertanggal 23 Maret 2020 yang diteken Plt. Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto yang isinya menyetop kerjsama antara Pemkot Bekasi dengan rumah sakit yang menjadi mitra dalam program LKM-NIK. Dengan berakhirnya kerjasama antara Pemkot Bekasi dengan pihak rumah sakit, sama halnya bahwa program yang ada dihentikan.
Tapi, belum lama surat tersebut beredar, Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bekasi buru-buru memberikan klarifikasi. Mereka membantah bahwa program LKM-NIK dihentikan. Menurut Dinkes LKM-NIK tetap berjalan, hanya saja pelayanan dilakukan di rumah sakit milik pemerintah baik milik Pemkot Bekasi atau bukan.
Pertanyaannya, kapan Pemkot Bekasi mampu menghadirkan jaminan kesehatan untuk warga Kota Bekasi? Sebuah jaminan kesehatan yang mampu menjawab kebutuhan kesehatan warga, tidak bermasalah secara aturan dan tidak membebani keuangan daerah ?
Oleh : Ivan Faizal Affandi, penulis merupakan mantan jurnalis yang melakukan tugas peliputan di Kota Bekasi
Respon (1)