Pendidikan politik terhadap masyarakat nampaknya harus di galakkan oleh penyelenggara Pemilihan Umum (Pemilu) dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Sejatinya, KPU wajib mengkampanyekan kepada masyarakat soal Pemilu Legislatif yang nyatanya tak pernah memberi kewajiban bagi hadirnya visi, misi dan program peserta kampanye dalam regulasi kepemiluan kita. Bisa dikatakan, visi-misi Calon legislatif (Caleg) tak berlaku!
Silakan saja lacak norma yang ada di dalam Undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD.
Kata “visi-misi dan program peserta kampanye” hanya muncul ketika UU itu mendifinisikan apa arti kata kampanye itu sendiri.
Pasal 1 angka 29 UU a quo menegaskan “Kampanye Pemilu adalah kegiatan Peserta Pemilu untuk meyakinkan para Pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program Peserta Pemilu”.
Berbeda dengan kewajiban calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam UU No.32 Tahun 2004 jo UU No.12 Tahun 2008 untuk menyampaikan secara tertulis visi, misi dan program calon kepala daerah dan wakil kepala daerah ke KPUD pada saat pendaftaran calon, dalam Pemilu legislatif ketentuan itu tak ditemukan.
Jika dalam Pemilukada, visi-misi dan program calon kepala daerah dan wakil kepala daerah menempati posisi yang amat strategis, bukan hanya untuk ditampilkan dalam kampanye, seperti kewajibannya menyampaikan di hadapan Rapat Paripurna DPRD setempat di akhir masa kampanye
Namun juga memiliki implikasi yuridis ketatanegaraan yang signifikan.
Visi-misi dan program calon kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih wajib dituangkan menjadi bahan bagi penyusunan Perda Rancangan Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah setempat. Ia menjadi ruh bagi arah pembangunan setempat lima tahun kedepan.
Dengan cara itu, akan terdapat korelasi yang positif antara janji-janji kampanye yang termuat dalam visi-misi dan program yang di daftarkan ke KPUD dengan realisasi pembanguan pasca yang bersangkutan memimpin.
Hal itu tak berlaku dalam Pemilu legislatif, peserta pemilu dalam hal ini partai politik yang didalamnya berisi para caleg dan calon perseorangan untuk DPD RI tak diwajibkan membuat visi-misi dan program pada saat mereka memasukkan segala kelengkapan administrasi pendaftaran ke KPU/D.
Dalam sejumlah syarat yang diberlakukan untuk mengukur sah atau tidaknya seorang menjadi caleg, tak diperlukan pencantuman visi-misi dan program yang bersangkutan.
Ketentuan ini berakibat pada sulitnya publik mengetahui, apa yang akan caleg lakukan jika mereka terpilih.
Pada ranah kontrak politik, tak ada kontrak politik yang terdokumentir untuk memaksa caleg yang terpilih menjadi anggota legislatif bekerja berdasarkan visi-misi dan program yang semetinya ia susun sebelum ia mencalonkan diri.
Ketika publik hendak menjatuhkan hukuman atau bahkan penghargaan bagi caleg yang tidak memenuhi janji atau yang telah bekerja dengan baik, kita tak memiliki alat ukurnya.
Dalam ranah penegakan hukum kepemiluan misalnya, tak adanya visi- misi dan program yang terdokumentasi di Pemilu legislatif membuat debat berkepanjangan antara KPU, Bawaslu, bahkan Kepolisian dan Kejaksaan.
Bagi sebagian pihak, pelanggaran kampanye hanya akan dapat ditindak jika di dalam aktivitasnya terdapat unsur-unsur kampanye sebagaimana ketentuan UU No.8 Tahun 2012, yaitu : a. kegiatan Peserta Pemilu, b. untuk meyakinkan para Pemilih, c. dengan menawarkan visi, misi, dan program Peserta Pemilu.
Dalam ketiga unsur itu yang kerap tak hadir adalah visi-misi dan program kampanye, dan karenanya oleh pihak-pihak itu ia tak berhak dikatagorikan sebagai pelanggaran kampanye.
Munculnya banyak iklan di media massa elektronik dengan terang benderang menyodorkan nama dan nomor partai politik dengan berbagai jargon tak dapat dianggap pelanggaran kampanye, kendati kampanye di media massa belum diperbolehkan.
Hal ini karena dalam konten iklan itu dianggap tak ada visi-misi dan program kampanye peserta pemilu. Hal serupa juga terjadi pada berbagai bentuk kampanye lain yang melibatkan para caleg di berbagai media dan alat peraga.
Pertanyaannya, bagaimana mungkin akan menemukan visi-misi dan program peserta Pemilu itu, jika memang sejatinya UU tak mewajibkannya sebagai bagian dari keabsahan mereka pada saat
mendaftar sebagai peserta Pemilu?
Bukankah itu pekerjaan yang sia-sia, atau rumusan norma yang sengaja dibuat, agar kita semua tak perlu melihat caleg dengan segala visi-misi dan program yang kadang juga bukan menjadi alat ukur kita untuk memilih?
Jadi hemat kami, KPU RI maupun di daerah wajib untuk mengkampanyekan tak berlakunya visi-misi dan program para caleg yang berlaga pada pesta demokrasi lima tahunan ini.