Kisah Pilu Acim dan Cicih Tinggal di Gubuk jadi Sorotan

  • Bagikan

Wabah kemiskinan masih nampak jelas di wilayah Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Rupanya, daerah yang disebut-sebut mempunyai kawasan terbesar se-Asia Tenggara tak menjamin hidup warganya sejahtera.

Hal ini terbukti dialami oleh pasangan suami istri: Acim (60) dan Cicih (45), warga asal RT 02/06, Desa Cibening, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi. Acim dan Cicih beserta dua anak, Hendra Lodaya (15) dan Hendri Lestari (10) sudah tinggal di gubuk dengan pondasi bambu selama kurang lebih tiga bulan.

Disana, kondisi keluarga Acim benar-benar memilukan. Mereka harus merasakan dinginnya angin malam dan panasnya terik matahari. Terlebih, gubuk yang berada di pesisir lahan pertanian itu, Cicih dalam kondisi yang tak sehat.

Cicih menderita penyakit diabetes. Kaki kirinya bahkan masih terluka dalam bungkus perban yang telah diderita sejak ia tinggal disanah. Cicih baru mengetahui penyakit diabetesnya setelah kaki kirinya terluka dan tak kunjung sembuh.

“Waktu itu saya lagi nyawah (bertani) kena tunggak, kaki luka dan sampai sekarang,” kata Cicih, Kamis (9/1/2020).

Namun, terpahit dalam hidupnya bukan soal penyakit yang diderita. Dari raut wajahnya, ada harapan besar dari Acim dan Cicih kepada dua anaknya yang masih kanak-kanak.

Cicih bercerita, jika sebelumnya ia tinggal di rumah kontrakan petak di atas tidak jauh dari gubuk yang di bangun. Namun, ekonomi yang semakin tidak mendukungnya membuat Acim dan Cicih beserta dua anaknya itu harus tinggal di rumah saudaranya.

“Saya tinggal dirumah saudara beberapa bulan, tapi ada masalah, karena saya sakit-sakitan juga. Ngerepotin dan akhirnya ya disuruh pergi,” katanya.

Ekonomi yang mencekik membuat Acim nekat membuat gubuk di lahan perairan milik desa setempat. Ia membuat gubuk itu dengan pondasi bambu beratap asbes dan dinding berasal dari spanduk.

Kisah Pilu Acim dan Cicih Tinggal di Gubuk jadi Sorotan
Penampakan rumah gubuk Acim dan Cicih di lahan perairan milik desa, RT 02/06 Kampung Rawa Atug, Desa Cibening, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi.

“Takut tinggal disini, kemarin pas hujan angin itu berjam-jam suami pegangin bambu biar hak rubuh,” ujar dia.

Kerja Serabutan, Acim Nafkahi Keluarga Rp 80 ribu untuk Tiga Hari

Acim mengaku selama ini menghidupi keluarganya dengan bekerja serabutan. Dalam satu kali kerja, ia dapat meraih Rp 80 ribu. Uang sebesar itu ia pergunakan untuk makan dalam kirin waktu tiga hari.

“Ya, namanya juga kan kerja serabutan. Kerja apa saja, jadi tukang, ya ngikut aja kalau ada orang kerja,” ujar dia.

Pekerjaan itu ia lakoni selama bertahun-tahun. Acim mengaku dengan duit itu dapat menghidupi keluarganya. Namun, makan dengan ala kadarnya.

“Makan kadang ya bikin bubur, atau rnggak nasi, pokoknya yang penting mah ada nasi, nanti lauknya ya apa saja seada-adanya,” imbuh Acim.

Sejatinya, keluarga Acim dan Cicih sudah masuk Program Keluarga Harapan (PKH). Mereka telah masuk dalam program Kementerian Sosial itu sejak tahun 2018 silam.

Salah satu pendamping keluarga Acim dan Cicih, Anjani Khairunnisa mengatakan baru mengetahui ketidakberadaan keluaga itu beberapa bulan bakangan atau sejak pindah dari rumah kontrakannya itu.

Selama mendampingi keluarga Acim, Anjani kerap mengantar makanan dan obat-obatan yang berasal dari bantuan PKH. Biasanya, perserta PKH mengambil secara mandiri. Karena keterbatasan keluarga Acim dan Cicih, Anjani harus mengantarkan bantuan itu.

“Kalau si ibu itu kan sakit memang tidak bisa jalan, makanya saya antar. Dan terakhir saya mau anterin beras namun waktu itu sudah tidak ada. Dapat kabar dari warga kalau inu Cicih tinggal di gubuk sawah,” ujar dia.

Dari situ Anjani mulai mencari keberadaan keluarga Acim dan Cicih. Setelah ketemu, ternyata kondisinya sudah dalam terpuruk. Anjani kemudian melaporkan kepada Dinas Sosial dan Kemensos.

Anjani saat berada di gubuk Acim dan Cicih

Dalam catatan Anjani, Cicih kini mengalami kondisi yang darurat. Penyakit diabetesnya mengalami kadar glukosa yang meninggi mencapai 374 dari normal biasanya 140. Tensi darah Cicih juga rendah hingga mencapai 70 hingga berpotensi drop dan Hemoglobin 3 dengan kategori anemia berat pengaruh dari kadar nutrisi.

“Kebetulan kita juga sudah urus agar dapat dibantu dengan Jamkesda, untuk anak-anaknya sudah kami buatkan KIP dan KIS (Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Indonesia Sehat),” imbuh Anjani.

Warga Swadaya Bangun Rumah untuk Acim dan Cicih

Kondisi Acim dan Cicih yang merana menggerakan warga Desa Cibening, Setu, untuk bergotong-royong membangunkan rumah tinggal. Rumah itu dibangun 10 meter dari gubuk yang dibangun Acim.

Menurut Ketua RT 02/06, Kampung Rawa Atug, Desa Cibening, Setu, Sain PD (58) mengatakan pembangunan rumah tinggal untuk keluarga Acim hasil dari swadaya masyarakat.

Progres pekerjaannya saat ini sudah 80 persen. Bangunan itu berukuran 5,5×6 meter di lahan perairan milik desa. Warga menyumbang uang dengan nominal yang tak dipatok.

“Seikhlasnya saja, terkumpul sampai Rp 6 jutaan, kita juga minta sama perusahaan-perusahaan sekitar berupa material. Jika ditotal bisa mencapai Rp 11 jutaan lah, kerjasa sama PSM (Pekerja Sosial Masyarakat),” kata dia.

Setelah terkumpul material, Sain bersama warga lain ikut membangun rumah tinggal untuk Acim dan Cicih. Saat ini pondasi serta dinding telah terbangun.

“Sisanya atap baja ringan berikut juga lantai keramik. Ya kira-kira dalam satu minggu kerepan sidah dapat ditinggali,” katanya.

Sain sebagai kepala lingkungan merasa tak tega dengan kondisi keluarga Acim. Pembangunan rumah tinggal itu juga diakuinya atas persetujuan kepala desa setempat.

Rumah tinggal untuk Acim dan Cicih di lokasi pengairan milik desa, RT 02/06 Kampung Rawa Atug, Desa Cibening, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi.

 

“Sbenarnya saya sempat meminta agar saudaranya dapat menyediakan lahan untuk sapat membangun rumah, tapi tidak ada respon. Akhirnya saya meminta izin kepala desa dan disetujui dibangun pada pahan perairan milik desa,” ungkapnya.

Kepala Desa Bakal Jamin Bangunan Rumah Tinggal Acim dan Cicih

Kepala Desa Cibening, Sinyo Suryadi bakal menjamin penuh keberadaan rumah tinggal yang dibangun untuk Acim dan Cicih. Ia memastikan, bangunan rumah itu tak akan diganggu gugat atau terdampak pembongkaran.

Menurutnya, langkah pembangunan rumah tinggal di tanah perairan desa itu telah mendapatkan persetujuan sampai dengan keluarga yang bersangkutan telah mampu atau mandiri. Artinya, tidak ada tenggat waktu yang ditentukan.

“Ini adalah lahan saluran yang tidak terpakai, saya yang akan menjamin tidak dibongkar. Tanah ini tidak terpakai,” tegas Sinyo.

Sejatinya, Sinyo merasa prihatin melihat warganya terlantar. Atas dasar itu juga ia memberikan kewenangan kepada warga membangun rumah tinggal di tanah perairan desa untuk keluarga Acim.

Sinyo mengatakan, dari 7.200 warga dengan sekitar 4.000 Kartu Keluarga (KK) yang ada di desanya hanya keluarga Acim yang mengalami nasib kurang beruntung.

“Hanya satu keluarga yang kondisinya seperti ini, dia (Acim dan Cicih) tinggal sudah lumayan lama, tapi memang kerap berpindah-pindah sampai akhirnya membuat gubuk,” katanya.

Ia berharap, Acim dapat bekerja keras lagi untuk dapat menafkahi keluarganya. Terlebih, bangunan rumah tinggal sudah dibuat oleh warga dan mendapat perhatian pemerintah.

“Saya yakin kalau untuk kebutuhan sehari-hari dapat tercukupi, insyaallah ketemu jalannya. Dia (Acim) juga banyak keahliannya. Bisa bercocok tanam, bisa nyopir, juga bisa menjadi tukang,” tutur Sinyo.

Koordinator PKH Kabupaten Bekasi, Yoyok Setiyowijoyo menambahkan bahwa di Kabupaten Bekasi terdapat beberapa kasus seperti halnya keluarga Acim. Misalnya saja di wilayah Kecamatan Bojongmangu.

Selain itu juga terdapat di wilayah Kampung Ceger, Cikarang Timur. Keduanya juga telah mendapatkan tempat tinggal dari hasil swadaya masyarakat.

“Mereka kota deteksi dari petugas PKH dilapangan, selain itu yang mendapatkan manfaat dari PKH yaitu ibu hamil, balita juga anak-anak serta lansia dan disabilitas,” tambahnya.

Cara mendeteksi yaitu dengan mendata KK yang ada di wilayah masing-masing. Biasanya, dapat terdeteksi apabila ada yang tinggal dalam kondisi homevisit.

“Homevisit itu mudah jadi terdeteksi. Kita nanti dalami kenapa dalam satu rumah banyak yang tinggal, nah dari situ biasanya kuta kembangkan,” jelas dia.

Kasi Pelayanan Jaminan Sosial Keluarga pada Dinas Sosial Kabupaten Bekasi, Upin Supini Sumantri mengatakan sejuh ini terdapat 172 pendamping bagi peserta PKH. Jumlah itu terbulang kurang mengingat jumlah PKH di Kabupaten Bekasi meningkat.

Pada tahun 2018 lalu, Supini mendata terdapat 65.000 peserta PKH. Pada akhir tahun lalu dan menjadi data 2020, jumlah PKH di Kabupaten Bekasi mengalami peningkatan mencapai 67.518 yang menerima.

Beruntungnya, di Kabupaten Bekasi tidak semua penerima PKH mengalami nasib seperti keluarga Acim. Rata-rata mereka hanya memerlukan bantuan sembilan bahan pokok (Sembako), perabot rumah tangga dan keperluan sekolah anak.

“Untuk keluarga Pak Acim ini kami turut prihatin. Kami juga berterima kasih kepada masyarakat yang tidak slow respon melihat warga yang mengalami kondisi seperti itu,” tandas Supini.

(MYA)

  • Bagikan